Oleh:
Adhie M Massardi
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB)
Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI)
KEBERHASILAN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menggusur warga di kawasan Kalijodo, menyusul kesuksesan menggusur warga masyarakat di tempat-tempat lain di Ibukota sebelumnya, menurut saya, belum layak dicatat sebagai prestasi.
Karena dari kawasan tergusur itu, tampak jelas aroma pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi.
Pengerahan militer bersenjata lengkap dari kesatuan di bawah komando Panglima Kodam Jaya, Mayjen Teddy Lhaksamana untuk menertibkan kawasan dalam upaya warga pindah dari kawasan yang akan dibebaskan Pemprov DKI, bukan saja merupakan pelanggaran atas nilai-nilai demokrasi, tetapi juga melanggar hak-hak sipil.
Karena dalam situasi perang sekalipun, militer bersenjata tidak boleh dihadapkan untuk memerangi masyarakat sipil.
Di Makodam Jaya, Cililitan, Jakarta Timur, Rabu 17 Februari 2016, silam kepada wartawan Pangdam Jaya memang membantah kehadiran pasukannya di kawasan Kalijodo (Minggu, 14/2/2016) merupakan bagian dari rencana Pemprov DKI untuk mengintimidasi masyarakat di Kalijodo.
"Tidak ada, tidak benar itu. Mana ada TNI atau Polri intimidasi masyarakat? Itu nggak ada itu," kata Mayor Jenderal Teddy.
Akan tetapi, menurut akal sehat, apabila pasukan militer keluar barak dengan persenjataan lengkap, hanya ada tiga alasan:
1. Latihan perang
2. Tugas negara untuk pengamanan instansi vital (karena ada ancaman kekuatan besar bersenjata), atau
3. Perang melawan musuh negara.
Rakyat mungkin saja percaya, pasukan bersenjata lengkap yang diterjunkan ke Kalijodo bukan untuk mengintimidasi.
Tapi merupakan “hak psikologis” warga Kalijodo untuk merasa terintimidasi dengan kehadiran tentara bersenjata lengkap itu lantaran hari-hari sebelumnya mereka sudah terteror oleh ancaman pengusiran Pemprov DKI.
Oleh sebab itu, saya meminta kepada Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk menghormati hak-hak sipil, dan tidak lagi menggunakan kekuatan militer termasuk polisi atau Brimob bersenjata lengkap untuk menghadapi warga masyarakat yang kawasannya hendak digusur demi pembangunan.
Puluhan tahun bangsa ini berjuang tak kenal lelah dan bahkan berdarah-darah untuk keluar dari sistem yang represif, sehingga bisa berjalan di ranah demokrasi.
Puncak perjuangan rakyat Indonesia memasuki ranah demokrasi terjadi dalam gerakan reformasi (1998), dan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 mempertaruhkan seluruh jalan perjuangannya selama puluhan tahun untuk mendorong militer di negeri ini kembali kepada khitahnya, tidak lagi berada di panggung politik dan dijadikan instrumen penjaga kekuasaan seperti di zaman Orde Baru.
Karena itu, langkah Ahok kembali menarik militer ke panggung politik untuk mengamankan kekuasaannya bukan saja menarik mundur hal yang sudah diperjuangkan lama rakyat Indonesia, tapi juga berbahaya bagi militer (TNI) sendiri karena akan dianggap sebagai “musuh rakyat” sebagaimana di zaman Orba.