Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Risiko penderita gagal ginjal di Indonesia terus meningkat. Angka prevalensi gagal ginjal diperkirakan 400/1 juta penduduk, sementara angka insiden diperkirakan 100/1 juta penduduk.
Menurut Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Endang Susalit, angka ini terus meningkat 10% tiap tahunnya.
Sayangnya, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJSK belum memberi sinyal positif dalam hal pembiayaan penanganan pasien gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah.
Saat ini salah satu yang membebani pembiayaan BPJSK terbesar adalah pasien haemodialisa.
Laporan BPJSK kepada DPR yang menyampaikan defisit anggaran sebesar Rp 5,8 miliar, menurut anggota Komisi IX Amelia Anggraini, salah satunya juga disebabkan oleh tidak komprehensifnya pembiayaan penanganan gagal ginjal.
"Ina CBGs harus direvisi, karena belum me-cover pasien gagal ginjal untuk transplantasi dan ruang operasi,” ujarnya saat mengunjungi pasien gagal ginjal yang akhirnya dapat memperoleh kesempatan transplantasi ginjal di RSCM Dr Cipto Mangunkusumo, Senin (14/3/2016).
Menurut Amel, transplantasi semestinya masuk dalam penjaminan INA-CBGs karena hal ini dapat menurunkan besaran pembiayaan yang diperlukan untuk pasien gagal ginjal.
Dia menimbang perbandingan antara pembiayaan cuci darah yang tidak berbatas waktunya dengan biaya cuci darah yang terjanyata tidak terpaut jauh.
Namun tingkat keberhasilan penyembuhan transplantasi ginjal lebih tinggi dan lebih jauh bermanfaat bagi pasien untuk memperpanjang hidupnya.
"Kalau seumur hidup mereka cuci darah haruslah menjadi perhitungan bagi BPJSK karena semakin besar cost claim yang harus mereka cover. Seyogyanya INA-CBGS mengikuti clinical pathway yang dianjurkan oleh tim medis,” tuturnya.
Dia mengatakan, dalam beberapa kasus, rumah sakit ternyata suka menunda-nunda pelaksanaan transplantasi ginjal karena tidak jelasnya pembiayaan oleh JKN-BPJSK. Karena itu Amel sangat peduli agar transplantasi ginjal dapat menjadi salah satu yang dibiayai BPJSK.