Proses memanen garam oleh petani hanya dilakukan dalam waktu 4-8 hari, bandingkan dengan negara importir seperti Australia yang proses memanennya mencapai 3 sampai 4 bulan.
Sehingga, kualitas garam Indonesia menjadi sangat rendah.
Kedua, korporasi dan petani garam belum memiliki teknologi pengolahan (refinery) untuk garam yang berkualitas rendah.
“Refinery garam memproses garam kualitas rendah untuk menghasilkan garam dengan kemurnian 98%. Kadar magnesium dan kadar air diperkecil,” katanya.
Ketiga, kesulitan untuk mencari lahan baru. Indonesia memerlukan tambahan lahan baru di tepi pantai yang relatif luas, minimal 5.000 hektar yang terintegrasi.
Saat ini, ladang garam masih terpusat di daerah Madura, Jawa Timur. Dengan mayoritas sistem pengolahan yang masih sangat tradisional.
Menghadapi banyaknya kendala yang ada, pemerintah pada akhirnya mengambil keputusan untuk mengganti Permendag 58 Tahun 2012 dengan Permendag 125 Tahun 2015 tentang ketentuan impor garam.
Perubahan utama dalam permendag tersebut adalah dicabutnya rekomendasi impor garam yang sebelumnya menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian.
Dengan adanya tindakan tegas dari pemerintah diharapkan permasalahan terkait impor garam dapat sedikit teredam dan perlahan bergerak menuju ke arah penyelesaian.
Dengan demikian, harga jual garam produksi dalam negeri dapat meningkat dan stabil.