Ditulis oleh : Greenpeace Indonesia
TRIBUNNERS - Greenpeace, WALHI dan JATAM yang tergabung dalam Koalisi Break Free mendesak pemerintah Indonesia untuk meninggalkan batu bara dan segera beralih ke energi terbarukan yang disampaikan dalam sebuah konferensi pers hari ini.
Koalisi ini menilai bahwa pembangunan sejumlah PLTU dan perluasan tambang batu bara di bawah 35000 MW tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang serius.
Saat ini, 42 PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia telah menghasilkan polusi udara yang mengeluarkan polutan-polutan berbahaya seperti PM 2.5, merkuri serta arsenik.
Belum lagi ditambah dengan kerusakan bentang alam akibat perluasan tambang batu bara di konsesi-konsesi tambang di Kalimantan dan daerah lain di seluruh Indonesia.
Proyek 35000 MW, akan meluaskan pembongkaran dan penghancuran kawasan hutan dan lindung, tidak akan sesuai dengan rencana moratorium lahan untuk tambang yang disebut Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
Partikulat-partikulat berbahaya seperti PM 2.5 dan PM 10 yang berasal dari pembakaran batubara dapat menyebar hingga radius 500-1000 KM dari lokasi PLTU berada.
Sehingga meskipun pada sebuah wilayah atau kota tidak terdapat PLTU batubara, namun bahaya dari partikulat berbahaya ini akan tetap mengancam warga yang hidup di kota tersebut.
Khalisah Khalid, Juru Bicara Eksekutif Nasional WALHI mengatakan "perluasan ekspansi industri batu bara untuk kepentingan ekspor dan industri, telah membuat ketergantungan terhadap energi kotor semakin akut.
Padahal sumber energi bersih terbarukan melimpah dan jauh lebih bisa diakses oleh rakyat.
Dengan semakin meningkat dan masifnya bencana ekologis, kita tidak memiliki waktu yang lebih lama, khususnya bagi pemerintah untuk segera memutuskan beralih dari energi kotor batu bara ke energi bersih dan terbarukan, demi generasi hari ini dan akan datang.
Sementara dari JATAM, Hendrik Siregar berpendapat, “Perubahan mendasar harus segera dilakukan, kebijakan energi nasional (KEN) dan target ratio elektrifikasi yang berpondasi pada energi fosil harus diganti sebagai bukti komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim yang makin ekstrim, proyek fast track - proyek 10 GW tahap 1 dan 2 yang dicanangkan SBY dan masih berlanjut - 35 GW hanya menguntungkan pihak yang menghancurkan lingkungan untuk menggali batubara dan mengebor migas, di kemudian hari pemerintah dan rakyat yang menanggung masalah. Energi terbarukan harus menjadi prioritas dan bisnis utama dalam mengejar target rasio elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi."
Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, menyampaikan “Dengan ancaman mematikan perubahan iklim, kita tidak punya kemewahan waktu untuk berlama-lama menggunakan energi fosil yang kotor ke energi bersih terbarukan. Pemerintah harus membuat target yang lebih ambisius dan membangun proses transisi yang adi luntuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan."
Indonesia seharusnya tidak meniru model pembangunan China dan India, dua negara yang saat ini harus menghadapi tingkat polusi udara yang sangat parah dan berbahaya bagi kesehatan rakyatnya karena ketergantungan dua negara tersebut yang sangat tinggi terhadap batubara.
Saat ini, Cina dan India mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil yang kotor ini, karena kerugian sangat besar yang harus ditanggung rakyatnya akibat kebijakan energi mereka yang keliru.
Sudah saatnya Indonesia menghentikan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi kotor batubara, dan segera beralih ke sumber energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan. Rencana proyek listrik 35000 MW dimana sebagian besar menggunakan sumber energi batubara akan mengancam masa depan anak-anak Indonesia yang seharusnya bersih dan aman.