Ditulis oleh : Eka Tri Mustika
TRIBUNNERS - Pakar Hukum Administrasi Negara menilai diskresi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tidak dapat dipidanakan dan keputusan itu sudah tepat untuk mengatasi stagnasi kebijakan mengingat belum ada regulasi yang mengaturnya.
"Gubernur DKI mengambil diskresi saat itu, karena harus cepat mengatur dan tidak mungkin dibiarkan berlarut tanpa kepastian. Sepanjang sudah sesuai AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), maka berwenang mengambil kebijakan tersebut. Harus dipahami bahwa kebijakan menurut teori HAN (Hukum Administrasi negara) tidak dapat dipidanakan," ujar Dian P Simatupang, Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, Jumat (20/5/2016).
Dia menambahkan keputusan Gubernur DKI sudah tepat guna mengatasi stagnasi, karena diskresi Ahok dilakukan pada Maret 2014, dan UU Administrasi Pemerintah No 30/2014 baru disahkan Oktober 2014.
Bahkan dalam UU Administrasi Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014, jelasnya, disebutkan bahwa diskresi adalah wewenang yang melekat pada PNS dan pejabat negara.
"Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta tidak perlu investigasi hukum, tetapi dapat dilakukan presiden atau menteri yang terkait meminta penjelasan dan pertanggunjawaban mengenai reklamasi.”
Dian menegaskan diskresi harus tetap dilindungi karena pejabat negara yang beritikad baik telah melaksanakan tugasnya dalam pencapaian tujuan bernegara.
“Justru ini tidak salah karena diskresi-kan untuk menjaga kepentingan publik,” katanya menanggapi polemik tentang diskresi yang dilakukan Ahok.
Sebelumnya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjelaskan bahwa proyek yang merupakan kewajiban yang dibayar dimuka terkait kontribusi tambahan itu memakai diskresinya sebagai gubernur, karena saat diputuskan pada tahun 2014 belum ada dasar hukumnya.
Keputusan diskresi tersebut resmi diambil dalam rapat sebagai pengikat komitmen pengembang.
“Yang tidak mau bikin, saya batalkan izin reklamasinya,” kata Ahok.
Pengembang yang diminta Ahok membangun proyek yang merupakan kewajiban yang dibayar dimuka terkait kontribusi tambahan selain Podomoro adalah PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudera, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Kartika Pakci.
Angka kontribusi tambahan ini juga dimasukkan kedalam payung hukum yang akan mengatur terkait reklamasi pantai utara Jakarta, yakni Raperda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ) dan Raperda RTRKSPJ (Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Panturan Jakarta).
Mantan Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Sarwo Handayani, sebelumnya juga menjelaskan bahwa kontribusi tambahan diminta di muka karena pembenahan utara Jakarta sangat mendesak. Pada akhir 2013, Jakarta diterjang banjir. Pemerintah Daerah DKI berinisiatif menerapkan kontribusi tambahan reklamasi untuk membiayai proyek penanggulangannya.
“Saat itu emergency. Kami ingin cepat,” ujar Sarwo.
Dian menegaskan, Ahok memang harus cepat mengambil keputusan diskresi karena tidak mungkin menangani reklamasi ini dibiarkan berlarut tanpa kepastian hukum.
Menurut Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, diskresi yang dilakukan Ahok sudah sesuai dengan tata cara dalam UU Adpem (Undang-Undang Administrasi Pemerintah).
Apabila ada tuduhan dan dugaan terhadap diskresi, maka seuai dengan Pasal 20 UU Adpem maka BPKP dapat melakukan penilaian yang nanti hasilnya disampaikan kepada Presiden.
"Apabila BPKP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, maka dalam waktu 10 hari Pemda DKI dan Gubernur mengganti kerugian. Jika Keberatan, keduanya dapat mengajukan permohonan ke PTUN," jelas Dian.
Namun, tambahnya, apabila BPKP menyatakan tidak ada kesalahan administrasi, atau ada kesalahan administrasi tapi tidak ada kerugian negara, APH (Aparat Penegak Hukum) tidak boleh masuk dan memprosesnya lagi.
“Oleh sebab itu cara yang tepat menurut saya, diskresi tersebut dilaporkan kepada Presiden sebagai pejabat atasan sesuai prosedur dalam UU Adpem," ujar Dian.