"Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat."
Namun fakta yang terjadi justru begitu bertolakbelakang dengan penjelasan tersebut. keadaan ini pun diperburuk dengan adanya fakta bahwa dalam dunia disabilitas pun masih menunjukkan angka minoritas untuk perempuan disabilitas yang bersekolah.
Artinya, terdapat kesenjangan yang sangat mencolok antara pria dan perempuan disabilitas dalam hal tingkat pendidikan.
Saat saya juga melakukan wawancara kepada Kepala Sekolah YPAC Makassar, Mukhlis menerangkan bahwa murid yang bersekolah di tempat itu masih didominasi oleh murid pria.
Begitu pula yang terjadi pada SLB A YAPTI, mereka yang melanjutkan pendidikan hingga jenjang universitas juga masih didominasi oleh alumni pria.
Setelah mengadakan wawancara kepada beberapa perempuan disabilitas yang saat ini menghentikan pendidikannya di tengah jalan, rupanya saya mendapatkan respon yang positif dari mereka.
Beberapa diantara mereka ternyata masih memiliki semangat dan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan mereka suatu saat nanti meski mereka telah berkeluarga. ketika ditanya mengenai alasan mereka, faktor ekonomi, krisis kepercayaan diri, dan budaya patriarki merupakan alasan dan permasalahan inti mereka.
“Budaya patriarki masih kental dalam masyarakat kita, dan itu juga tak terkecuali pada perempuan disabilitas. Hal itu dapat dilihat dalam tindakan suboordinasi dan streotipe yang dilakukan oleh pihak keluarga terhadap anak perempuannya yang disabilitas. Ketika orangtua memiliki sepasang anak yang disabilitas, orang tua akan cenderung memberi pendidikan yang lebih tinggi terhadap anak yang pria tersebut sebab mereka telah lebih dahulu melabel-labelkan mereka bahwa anak lelakinya adalah calon punggung keluarga dengan mencari nafkah untuk mereka, sedang anak perempuan tak perlu bersekolah tinggi sebab ujung-ujungnya ia akan kembali ke dapur,” terang Maria Ulf, Ketua HWDI Sulsel saat saya temui pada pekan lalu di sekertariat HWDI dan PPDI Sul-Sel.
Setelah berbincang-bincang dengan lebih lama bersama beliau, saya pun berpikir dan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan ketidakadilan ini sejatinya berawal dari pola pikir kolot yang masih mendarahdaging di tengah-tengah keluarga yang lalu ditularkan dalam sosial masyarakat yang lebih luas.
Oleh sebab itu, langkah awal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini tentu juga harus dimulai dari peran keluarga, melakukan perubahan-perubahan pola pikir dan pembuktian kepada masyarakat bahwa tak ada perbedaan antara pria maupun perempuan, khususnya dalam aspek pendidikan sebab setiap manusia memiliki kemampuan yang tak terbatas dalam otaknya, terlebih ketika mereka memiliki bakat yang khusus.
Salah satu pembuktian tersebut dapat dilihat melalui kehidupan beberapa perempuan disabilitas, seperti Badriah, tuna netra yang kini melanjutkan pendidikannya di Universitas Muslim Indonesia dan di samping itu ia berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, bahkan ia memiliki bakat tilawah yang luar biasa yang telah mengantarkannya pada kejuaraan tingkat nasional.
Adapun saya sendiri sebagai pemilik tulisan ini saya pun seorang tuna netra yang kini menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin dan saya memang seorang penulis.
Masalah biaya kuliah yang selalu menjadi permasalahan sebagian masyarakat, saya pikir hal itu bukanlah tembok untuk melanjutkan pendidikan tinggi sebab saya berhasil menangani permasalahan itu dengan memeroleh beasiswa hingga saya menyelesaikan pendidikan S1.
Selama terdapat tekad yang kuat, kesungguhan, dan usaha keras tentu tak ada yang mustahil. Hasil tak pernah mengkhianati kerja keras. Jadi, semua perempuan disabilitas sangat layak untuk berpendidikan tinggi.