Tanda itu dibumbui dengan hiasan-hiasan perkampungan, serta di desa-desa tersulap cerah sahut sahutan lampu kerlap kerlip yang setiap malam bak kunang-kunang terlihat indah dari kejauhan, tak luput serta hiasan warna warni bendera umbul umbul membalut disetiap pinggiran jalan, untuk mengiringi kirab berbagai jenis budaya yang diperagakan, bak pahlawan bersama simbol-simbol kemerdekaan yang siap dipertontonkan.
Tak ketinggalan, pelosok desa sontak serentak menjadikan perkampungan meriah, konvoi kirab parade budaya, dengan beragam jenis tontonan dari musik dangdut hingga keroncongan, untuk hanya memperingati tanpa menyadari kenyataan negeri ini.
Entah, apakah mereka menyadari atau tidak makna peringatan kemerdekaan tersebut, atau hanya euforia sesaat, hingga seruan setiap orang tersemat girang memeriahkannya.
Atau hanya sisa budaya penguasa orba yang mengakar, sebagai peredam saat itu untuk pembangkit nasionalisme yang tanpa arah, asalkan memperingati dan mengikuti tanpa alasan yang jelas sehingga kepuasaan itu hadir hanya sesaat ketika mendapatkan hadiah dalam lomba "Agustusan".
Dari setiap level penguasa kota hingga pelosok desa, dari yang duduk di pemerintahan pusat hingga pemerintahan bawah, semua menjalankan budaya tersebut.
Inikah kemerdekaan yang sejati
Namun kesejahteraan dan kemerdekaan secara ekonomi politik negeri ini masih dijajah penguasa modal yang setiap saat akan mencekik, hingga tak jarang mendengar keluhan setiap pemuda pemudi yang antri di meja tuan dengan berseru susahnya mendapatkan pekerjaan layak.
Ibarat lagu populer berjudul "Sarjana Muda" yang antri dimeja tuan polan, kata Bang Iwan yang tak setajam dulu lantunan lagu kritikannya.
Berangsur-angsur buruh di PHK (tepat di bulan Agustus buruh transportasi PT Selog Indonesia di PHK dari pekerjannya). Belum lagi nilai tukar Rupiah yang tak kunjung menemukan obatnya, akibat melemahnya perekonomian.
Sedangkan di parlemen dan pemerintahan hanya menjadi tontonan usang yang setiap pendengar dan penontonnya dibuat bingung, melesu oleh perilaku elit politiknya yang secara terang-terangan berlangsung melakukan perkawinan silang menyilang, sehingga genetiknya pun tak jelas asalnya, bahkan saling mengangkangi dengan keburaman ideologi partai partai politik itu, sehingga hanya terang sejelas-jelasnya bagi kepentingan penguasa modal yang tersusupi disetiap tubuh partai tersebut.
Tidak hanya disitu kelesuan negeri ini, dalam akses pendidikan yang susah dengan meroketnya jangkauan harga DPP dan SPP, UKT yang lambat laun semakin mahal hingga rakyat miskin dan anak-anak buruh tani tak mampu mengakses pendidikan layak yang demokratis dan ilmiah.
Sehingga bapak Oemar Bakri menangis tak ada penerus, dan penciptaan seperti "Guru Oemar Bakri" tak didapat lagi dimasa kekinian ini. Lagi-lagi lantunan lagu Bang Iwan Fals menjadi buram mengabur jika dibenturkan dengan kenyataan pendidikan negeri ini.
Jaminan sosial yang diperdagangkan bebas, bersama peluh-peluh buruh tani yang diperas menjadi korbannya. Negara hilang ditelan penguasa korup yang semakin marak berjamuran.
Perampasan tanah rakyat bertebaran di berbagai pelosok negeri (baru-baru ini di Medan rakyat bentrok dengan TNI AU), yang tak henti-henti dilancarkan, bersama buldoser raksasa yang siap menakuti, menggilas rakyat di setiap titik penghalangnya. Hingga wartawan pun dibungkam untuk hanya memberi kabar.