Oleh: Prananda Surya Paloh
Anggota Komisi I DPR RI
TRIBUNNEWS.COM - Saya dulu waktu kuliah sains politik di Australia pernah membahas struktur politik Amerika Serikat.
Intinya begini, masyarakat ekonomi Amerika terbagi dua.
Pertama, masyarakat ekonomi keuangan dengan ujung tombak industri permodalan dan perbankan dan kedua masyarakat ekonomi industri dengan ujung tombak industri senjata.
Aspirasi masyarakat ekonomi keuangan selalu saja pada kelancaran investasi dan perdagangan global, mereka punya kepentingan rakyat negara lain makmur lalu bisa buka perdagangan dengan mereka atau investasi di mereka.
Aspirasi ini selalu disampaikan ke pihak Demokrat.
Implikasinya, jika ada Presiden Demokrat naik, maka agenda nya selalu memperkuat civil society negara negara didunia.
Civil society kiat, demokrasi kuat, ekonomi meningkat dan disitu mereka mengharapkan partnership dagang dan investasi. Pendekatannya selalu bottom up.
Sehingga tidak heran berbagai NGO nasional negara lain mendapatkan kucuran dana, untuk perkuatan civil society.
Sementara itu aspirasi masyarakat industri adalah bagaimana caranya produk industrinya laku ke pasaran. Terutama pemasaran industri militer.
Untuk itu aspirasi ini membutuhkan kebijakan Top Down megar negara sahabat.
Republik selalu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Industri Amerika untuk mewujudkan ini.
Sehingga tidak heran, jika ada presiden Amerika dari Republik, maka agenda nya mendukung negara sahabat, tidak peduli jika mereka itu tiran atau negara yang tidak peduli dengan demokrasi, melakukan pendekatan agar sales industri mereka meningkat melalui kebijakan Top Down.
Kemudian tidak jarang juga adanya alasan untuk melakukan operasi militer, sehingga industri pertahanan nasional Amerika bisa mendapatkan proyek dan proyek pertahanan berarti pekerjaan bagi jutaan pekerja mereka.
Kebijakan perang ini sangat didukung oleh para politisi "Hawkish" yang bersarang biasanya di kubu partai Republik.
Biasanya pandangan mereka sangat keras, egois dan ultranasionalis.
Kembali pada Presiden Trump. Saya mengikuti perkembangan debat Trump vs Hillary.
Istilah "take it and keep it" pada minyak Timur Tengah, "reimbursed military aid" (dukungan militer tapi harus bayar), "bomb shit out of 'em" (bom habis habisan mereka) dan banyak hal lainnya mengindikasikan bahwa akan ada sebuah langkah besar dan kuat pada pihak pihak yang tidak mau kooperatif atau antagonis pada kebijakan Amerika.
Biasanya pada kelompok teroris dari aliran Wahabi dan pemerintah Iran yang beraliran Syiah.
Implikasinya pada Indonesia adanya dukungan lebih kuat pada pemerintah, untuk memperkuat posisi dan melakukan agenda keamanan lebih intens lagi.
Sebut seperti agenda anti-terorisme atau pengamanan Selat Malaka, kira kira bisa meningkat signifikan.
Ini sekaligus tentunya dibarengi dengan peningkatan sales penjualan perangkat militer mereka.
Tentunya mereka juga akan lebih agresif lagi dalam mendukung investasi mereka disini.
Demikianlah, yang kita bisa pahami dan untuk itu kita bisa saling bermanfaat bagi tujuan kepentingan bersama kedua negara.