News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Apa Jadinya jika Pemimpin “Baper”?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Oleh: Pascal S Bin Saju

TRIBUNNEWS.COM - Baper! Istilah dari kazanah bahasa gaul ini untuk menyebut orang yang cenderung sensitif, mudah tersinggung, dan berlebihan dalam merespons isu, kasus atau masalah, dan situasi tertentu.

Perhatikan anak-anak kekinian jika mereka mengobrol dengan teman-temanya. Sering terlontar kata baper ketika seseorang menjauhi kelompoknya karena tersinggung oleh candaan sahabatnya.

Umumnya, anak perempuan yang selalu bawa perasaan alias baper dalam berinteraksi.

Di chat saja baper, dilirik dikit baper, dicandai baper, dikasih senyum baper, dan digodai baper. Lalu kalau sudah baperan, bisa mengadu ke mana-mana, curhat, dan mengarang cerita.

Namun, ternyata laki-laki dewasa pun bisa baperan seperti anak perempuan itu atau anak-anak remaja. Ini juga membuktikan, laki-laki tidak selamanya rasional dan perempuan selalu baper.

Kita juga mungkin bisa mengidentifikasi siapa saja orang-orang di komunitas, kelompok, dan di lingkungan sekitar kita, termasuk di rumah kita, yang sering baperan.

Istilah baper bermakna keadaan atau sifat yang khas dalam menanggapi masalah tertentu. Reaksi orang baper bisa beragam, seperti marah, mengadu, dan curhat ke pihak lain (termasuk di medsos).

Ada yang baper karena isu, kasus, masalah, atau apa yang dipercakapkan orang lain ternyata bersinggungan dengan perbuatan atau tindakan, perkatakan, dan pikirannya.

Namun, ada juga percakapan yang sama sekali tidak bersinggungan dengannya, namun, dia merasa seakan-akan telah menjadi orang tertuduh, obyek perbincangan, walau sebenarnya tidak demikian.

Orang yang baperan lebih mirip dengan orang yang disebut childish, yang memiliki ciri antara lain suka merengek (self-center) untuk meminta sesuatu atau memenuhi keinginannya, tanpa membuat upaya untuk melakukan sesuatu.

Namun, orang yang childish juga sulit mengontrol emosi saat berbicara dengan orang yang lain dan bisa bereaksi berlebihan.

Kadang ngambek jika keinginannya tidak bisa dipenuhi oleh orang yang dimintai bantuan.

Dalam dunia pekerjaan khususnya, sifat baper sering dituduh memicu hawa negatif dalam lingkungan kerjanya dan membuat seseorang tidak produktif atau kontraproduktif.

Nah, berteman atau berinteraksi dengan orang yang suka baper bisa membuat situasi semakin rumit dan menjalar ke berbagai masalah lain. Lha wong apa-apa selalu dibawa ke perasaannya.

Orang yang baperan berbeda halnya dengan orang yang mampu mengelola perasaan dengan baik dalam membangun hubungan dengan sesama atau menghadapi sebuah masalah.

Kelola emosi

Dalam konteks yang lebih luas, bisa dikatakan orang yang mampu mengelola perasaan (emosi) adalah orang arif, bijak, dan pandai mengendalikan emosi dan mengungkapkannya dalam berbagai situasi.

Di sini bisa kita katakan, perasaan atau emosi sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk jika dikelola dengan baik.

Aristoteles dalam The Nichomacean Ethics, karya terbaiknya tentang etika atau kebajikan dan karakter moral, menyebut, bukan emosionalitas yang menjadi masalah.

Menurut filsuf Yunani ini, masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengekspresikan dan mengendalikan semua jenis emosi dan menguasainya dengan cara-cara yang cerdas. Nafsu sekalipun jika dilatih dengan baik akan membuahkan kebijaksanaan.

Etika Nikomakea tersebut memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku baik dan mengembangkan watak yang baik pula.

Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis dan kemampuan dari orang yang baik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.

Menurut JE Prawitasari, pakar dari UGM Yogyakarta, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995).

Para filsuf juga mengemukakan bermacam-macam emosi. Salah satunya filsuf kelahiran Perancis, Rene Descrates (Maret 1596-Februari 1650) mengatakan, emosi terbagi atas hasrat, benci, sedih atau duka, heran, cinta, dan kegembiraan.

Kembali ke baper! Mengingat baper bisa dialami oleh siapa saja, lantas bagaimana jika pemimpin negara, tokoh yang pantas disebut bapak – baik mantan atau sedang berkuasa – mengalami baper.

Dampaknya bisa buruk. Kondisi yang muncul adalah hawa negatif dan membuat kita tidak produktif atau kontraproduktif di dalam medan pembangunan bangsa yang besar dan bermartabat.

Apalagi jika baper berbuntut pada upaya politisasi atas berbagai isu kebangsaan lainnya yang sebenarnya bisa disikapi dengan dialog yang arif dan bijak agar menyejukkan hati rakyat.

Rasanya tidak elok jika pemimpin, yang diharapkan mampu mengelola perasaan dengan baik justru malah baperan; mereka jadi pergunjingan dan cemoohan publik serta di-bully di media sosial.

Kita membutuhkan pemimpin yang tidak berkutat pada kepentingan diri sendiri, yang membangun komunikasi dengan kelompok, golongan, atau tokoh lain semata hanya untuk kepentingan pribadi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang berusaha bangkit untuk maju dan berkembang bersama-sama melampaui sekat-sekat sosial.

Mari kita bangkit untuk kemajuan, berlomba-lomba berkarya dan mencipta untuk menjangkau bulan, menjelajahi dirgantara, dan menemukan teknologi baru demi kemaslahatan kita bersama.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini