KASUS penganiayaan bayi oleh ibu kandung di Bali telah memasuki episode terang.
Setelah sebelumnya sempat tertolak masuk sebagai laporan di Unit PPA Polda Bali, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali (Kombes Sang Mahendra) memperlihatkan sikap "promoter"-nya dengan trengginas.
Unit PPA Polda Bali patut meneladani sikap mental pimpinan mereka yang telah sungguh-sungguh menunjukkan keberpihakan penuh terhadap masyarakat--pelapor selaku pihak yang ia layani.
LPAI juga berterima kasih kepada masyarakat, khususnya Ibu Vivi selaku pemilik yayasan tempat bayi selama ini dititipkan, yang telah melibatkan LPAI dalam penanganan kasus ini.
Masyarakat mengeluhkan kendala yang sempat mereka hadapi di institusi penegakan hukum.
Baca: Bayi J Diduga Dipakai untuk Memeras, Polisi Telusuri Penyebar Video Kekerasan
Dan setelah batu sandungan itu berhasil disingkirkan, LPAI kembali melibatkan komponen masyarakat untuk terus mengawal penanganan kasus ini.
Bu Vivi bersama Bapak Yudara (pengacara asal Bali) dan Kak Yulia (pegiat Satgas Reformasi dan Advokasi Hukum LPAI yang berdomisili di Bali) adalah representasi masyarakat yang sejak awal dengan gigih memasukkan kejadian memilukan ini ke dalam radar Polda Bali.
Kasus penyiksaan bayi ini merupakan ilustrasi nyata bahwa orang tua biologis tidak serta-merta mampu menjadi orang tua efektif.
Secara spesifik, dalam kasus ini pula, sosok ibu kandung yang diasumsikan luas sebagai pengasuh primer justru berperan sebagai bahaya utama terhadap darah dagingnya sendiri.
Ini kian mengenaskan, apabila orang tua si bayi tidak menikah. Sebagai bayi berstatus anak gantung, kuasa asuh atas dirinya sepenuhnya ada pada ibu yang melahirkannya.
Ibu itulah yang semestinya mampu menjadi sosok tunggal bagi bayi untuk bernaung dan berlindung.
Dalam perspektif LPAI, tolok ukur tuntas sempurnanya penanganan kasus penganiayaan bayi di Bali tersebut adalah terealisasinya sasaran perdata dan pidana.
PERDATA: 1) Pemisahan anak (bayi) dari orang tua (ibu kandung), 2) Pencabutan kuasa asuh ibu kandung atas si bayi, 3) Perlindungan khusus bagi si bayi.
PIDANA: 4) Pemidanaan dengan pasal kekerasan dan eksploatasi terhadap ibu kandung si bayi, 5) Pemberatan sanksi karena tersangka-pelaku adalah orang dekat korban.
Terkait kondisi psikis tersangka-pelaku, LPAI bersikap bahwa agar proses hukum bisa berjalan efektif mencapai sasaran-sasaran di atas, harus diasumsikan bahwa tersangka-pelaku adalah individu yang sehat, normal, waras, dan tidak kehilangan nalar moralnya.
Apabila hasil pemeriksaan terhadap tersangka pelaku menunjukkan adanya kondisi psikologis tertentu, penting dipahami bahwa tidak semua diagnosa psikologis dapat berkonsekuensi pada dikenakannya pasal 44 KUHP.
Otoritas hukum dapat melibatkan pihak ketiga guna memastikan bahwa tersangka-pelaku tetap waras untuk dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.
LPAI menjunjung azas praduga tak bersalah.
Pada sisi yang sama, mencermati adanya istilah-istilah psikologis tertentu yang mulai dilekatkan ke diri tersangka-pelaku, LPAI berpesan agar semua pihak--utamanya lembaga penegakan hukum--mewaspadai kemungkinan malingering.
Malingering adalah modus berpura-pura sakit yang dijadikan sebagai strategi untuk memanfaatkan pasal 44 KUHP.
LPAI mengajak publik dan media untuk terus menyemangati Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pemberkasan atas kasus ini.
Media juga perlu menjaga stamina agar hilir dari proses hukum ini tetap terkabarkan ke khalayak luas.
Alih-alih berada pada fase heboh seperti sekarang ini, efek tangkal dan efek jera sesungguhnya terletak pada seberapa jauh hukuman yang dijatuhkan ke terdakwa diketahui oleh publik.
Tak dapat dikesampingkan, mari kita jaga identitas dan martabat si bayi.
Kelalaian dengan membuka identitas anak-korban dapat memunculkan efek viktimisasi sekunder yang kontraproduktif bagi kehidupannya selanjutnya.
Penulis: Seto Mulyadi,Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia)
Sekretaris Jenderal Henny Roesmiati