News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Membaca Psikologi SBY

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat orasi di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (7/2/2017). SBY menyampaikan pidato politik dalam rangkaian Dies Natalies ke 15 partai Demokrat yang diawali Rapimnas.

Saat didemo pengunjuk rasa yang membawa kerbau “Si Bu Ya”, 28 Januari 2010, meskipun sempat tersinggung, namun SBY tidak melaporkan hal tersebut ke polisi. SBY cukup menyentilnya dengan mengimbau agar aksi demonstrasi dilakukan dengan menjunjung tinggi pranata dan kepantasan.

Itu semua terjadi karena Ibu Ani dan SBY merasa anak-anak mereka tak ada yang terancam bahaya. Sebaliknya, bila merasa anaknya ada yang terancam bahaya, maka respons Ibu Ani dan SBY pun akan refleks, dengan turun langsung ke “medan perang”.

Demi melindungi anak jualah, kali ini si sulung AHY, saat maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017, SBY pidato soal “lebaran kuda” di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat,Rabu (2/11/2016), untuk mendesak Polri memproses hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait dugaan penistaan agama. Pidato yang emosional itu sebenarnya bukan tipikal atau langgam SBY yang biasanya lembut dan santun.

Demi sang anak, SBY bahkan siap “jihad” seorang diri, “nglurug tanpa bala”. Ia mengaku mendapat permintaan dari pengurus partainya untuk ikut mendampingi membuat laporan, namun SBY menolak.

Begitu pun tawaran bantuan dari para mantan menterinya, SBY mengaku ingin menghadapi tuduhan tersebut seorang diri. "Ini perang saya, this is my war. Perang untuk keadilan! Yang penting bantu saya dengan doa," katanya.

PSSI

Akomodatifnya SBY terhadap aspirasi Ibu Ani tentu sesuatu yang wajar. Sebagai suami, secara insting dan psikologis, Ketua Umum Partai Demokrat ini ingin membahagiakan istrinya, dengan menuruti permintannya.

Ini tak berarti SBY anggota “ISTI” (Ikatan Suami Takut Istri) atau pun “Istikomah” (Ikatan Suami Takut Istri Kalau di Rumah), tetapi justru SBY termasuk “PSSI” (Persatuan Suami Sayang Istri).

Saat memimpin Indonesia selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014), SBY pun konon termasuk “PSSI”. Ibu Ani-lah konon “pembisik” yang paling didengarkan SBY, termasuk dalam soal reshuffle kabinet, yang diduga lebih mempertimbangkan faktor moral daripada kinerja.

Sebagai seorang istri, Ibu Ani tidak suka ada menteri SBY yang punya “WIL” (Wanita Idaman Lain), apalagi terlibat cinta terlarang, sehingga mau tak mau bila ada yang demikian maka mereka harus dicopot atau mengundurkan diri dari Kabinet Indonesia Bersatu.

Setidaknya ada tiga menteri SBY yang dicopot lantaran terlibat cinta terlarang. Mereka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, dan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa (Sindonews.com, 9 Desember 2012).

Keberhasilannya menjadi Ibu Negara mendampingi SBY akhirnya berbuah manis. Atas jasanya itu, Ibu Ani menerima anugerah bintang Adi Pradana dari Presiden SBY yang tak lain suaminya sendiri (Kompas.com, 12 Agustus 2011).

Mungkin Presiden AS Harry S. Truman urung menjatuhkan “Little Boy” di Hiroshima dan “Fat Man” di Nagasaki, Jepang, 6 dan 9 Agustus 1945, bila malam sebelumnya saat tidur berdua, Ny. Truman berbisik, “Pa, jangan jatuhkan bom atom ke Jepang ya, kasihan rakyat yang tak berdosa.”

Alhasil, istri sangat memengaruhi kondisi psikologis suaminya, presiden atau raja sekalipun, entah “ISTI”, “Istikomah” atau “PSSI”.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini