TRIBUNNERS - Belakangan ini banyak bermunculan konten negatif (ujaran kebencian dan hoax) yang disebarkan melalui media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, hingga grup-grup WhatsApp.
Hal ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang berdampak pada kerukunan antar umat beragama di Republik Indonesia.
Baca: Pengemudi yang Dengarkan Radio Saat Macet Juga Bisa Ditilang
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) H. Sidarto Danusubroto berpandangan, peran para ulama dan pesantren masih diperlukan dalam membangun manusia religius yang memiliki spiritualitas, maju, rasional, dan berkepribadian Indonesia.
Karena selain memberikan kekuatan yang menjadi perekat bangsa, juga merefleksikan wajah Islam yang membangun peradaban berazaskan rahmatan lil alamin yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
“Fakta sejarah di Indonesia menunjukkan, selama ini Islam mampu menyatu dengan kearifan lokal tanpa harus mengakibatkan gesekan. Inilah wajah Islam Indonesia yang tumbuh sejak berabad-abad silam, yaitu wajah yang terbuka, toleran, dan sadar akan kemajemukan. Di atas fondasi inilah semestinya dakwah Islam berpijak,” kata Sidarto saat memberikan sambutan pada acara Haul Al-Maghfurlah KHR Zamruddin yang digelar oleh Pokja Toleransi dengan Pesantren Al-Falahiyyah, Sleman, Jogyakarta, Rabu (28/2) sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat (02/03).
Sidarto mengatakan, dalam realitas masyarakat yang bercorak multikultural, perihal cara berdakwah ini, Rasulullah telah memberikan tauladan dengan apa yang dalam sejarah Islam disebut sebagai Piagam Madinah.
Masa itu, masyarakat Madinah terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Dengan piagam itu Rasul berhasil menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk.
Patut disadari, bahwa akar dari nasionalisme di Indonesia adalah tumbuh dari agama. Istilah “hubbul wathan minal iman” merupakan benih perasaan nasionalisme bangsa Indonesia.
Banyak negara-negara maju di dunia yang menerapkan sikap hidup “berketuhanan” yang bukan hanya sekedar ritual, namun dalam perilaku sehari-hari.
“Di negara Barat maju, bukan saja dalam teknologi dan industri, tetapi juga dalam kemanusiaan, mereka memiliki program-program sosial negara kesejahteraan, bagaimana memuliakan semua yang hidup dan menjaga keseimbangan semesta,” ujarnya.
Dikatakan Sidarto, Pancasila sebagai nilai-nilai yang hidup dan tumbuh (living values) masyarakat Indonesia, ternyata dalam kehidupan sehari-hari masih belum optimal, termasuk dalam kehidupan bernegara saat ini.
“Kita melihat adanya defisit nilai Pancasila yang tercermin dalam hampir setiap aspek politik, hukum, ketatanegaraan, hingga kesejahteraan rakyat. Ini yang sangat perlu kita bangkitkan kembali,” tutur Sidarto.
Oleh karena itu, aktivitas berdakwah tentu boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi seorang penyeru jalan kebenaran tidak dibenarkan merasa paling benar.