Melalui “jalan tengah” dengan menjadikan Pak Moeldoko sebagai ketua umum, niscaya rekonsiliasi akan terjadi secara natural, alami, tanpa paksaan, sehingga Hanura pun akan terhindar dari buah simalakama. Lalu akan terjadi win-win solution (solusi menang semua) dan tidak ada yang kehilangan muka (loss face).
Setelah itu, Hanura harus fokus pada pemenangan Pilkada 2018 yang akan digelar serentak di 171 daerah pada 27 Juni nanti, serta Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang akan digelar bersamaan. Bila tidak, jangan berharap Hanura akan lolos PT 4%. Apa artinya bersusah payah ikut pemilu bila akhirnya tidak dapat bertahan di Senayan?
Ingat, Hanura adalah juru kunci Pemilu 2014 yang berhasil meraih “hanya” 16 dari 560 kursi di DPR RI. Bila tergelincir sedikit saja, Hanura bisa terlempar dari Senayan dan bernasib sama dengan Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang ikut Pemilu 2014 tapi tak berhasil mendudukkan kadernya di DPR RI. Sayang bila “modal” 16 kursi DPR RI dan 1.320 kursi DPRD provinsi/kabupaten/kota se-Indonesia lenyap di 2019.
Jadi, kedua kubu hendaknya legawa (ikhlas) dan berjiwa besar, jangan “rebut balung tanpa isi” atau ibarat anak-anak berebut layang-layang putus, di mana ketika satu anak sudah mendapatkan layang-layang itu, anak-anak lainnya akan merobeknya sehingga kedua pihak tidak ada yang bisa mengunakan layang-layang itu. Jangan sampai gara-gara konflik internal yang berkepajangan, Hanura tak lolos PT 4%.
Coretan sederhana dan mungkin akan diangap naif ini tidak dimaksudkan untuk menggurui atau mendikte (fait accomply) pihak mana pun, baik kubu OSO atau pun kubu Daryatmo, apalagi Pak Moedoko dan Pak Wiranto. Ibarat Hanura ini mobil, pesawat, kapal, atau kereta, penulis hanyalah sebuah sekrup kecil yang tidak terlalu vital fungsinya.
Ketulusan, keikhlasan, dan rasa ikut memiliki (melu handarbeni) terhadap Hanura inilah yang menjadikan penulis merasa melu hangrungkebi (ikut bertanggung jawab) terhadap eksistensinya, dan mulat sarira hangrasawani (introspeksi diri) kalau tidak bisa disebut otokritik.
Apalagi ada adagium, keluar dari mana pun, mutiara tetap akan bernama mutiara. Ia tak akan tertukar dengan kerikil atau batu akik.
Demikianlah, permintaan maaf perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, bila ternyata “surat terbuka” ini membuat hati kurang berkenan.
Ir. H. Totok Sugiyarto, S.H., M.M: Wakil Ketua Bappilu/Ketua Wilayah Kalimantan DPP Partai Hanura.