Oleh Noura Fadhilah, pembaca Tribunnews
TRIBUNNEWS.COM - Mendengar puisi yang di sajakkan oleh Sukmawati dalam dalam acara 29 Tahun Anne Avanti Berkarya di Indonesia, di event Indonesia Fashion Week 2018.
Dalam tayangan video yang dapat dilihat di media-media online, saya sebagai bagian dari umat muslim dan generasi muda bangsa ini sangat menyayangkan, salah seorang putri dari pendiri bangsa yang saya percaya, adalah pribadi yang juga ta’at dan memiliki pengetahuan keislaman yang cukup.
Namun sepertinya ketakwatan dan pengetahuan keislaman sang ayah tidak sempat diwariskan pada salah satu putrinya yaitu Sukmawati, sehingga lahirlah puisi yang berpontensi untuk semakin mempertajam konflik yang telah ada di tengah bangsa saat ini.
Kegaduhan baru. Inilah yang pertama kali terlintas dalam ruang fikir saya, saat saya pertama kali medengarkan puisi tersebut. Saya kemudian mendengarkan puisi Sukmawati berulang-ulang kali.
Saya berusaha memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Sukmawati dengan puisi tersebut.
Namun tetap saja, saya tidak dapat menemukan apa sebenanarnya pesan besar yang ingin disampaikan dengan puisinya tersebut.
Saya tidak ingin memasuki ruang kebebasan berpikir setiap pribadi. Setiap dari kita boleh saja punya pandangan berbeda -beda, tidak Ada keharusan untuk seragam dalam memandang sesuatu.
Sukmawati berhak untuk memiliki sudut pandang bahwa sari konde Ibu Indonesia lebih indah daripada cadar. Dan memang di dalam Islam pun cadar menurut sebagian besar ulama dan kyai, Itu bukanlah kewajiban dalam fiqih.
Namun lebih pada bentuk kehati-hatian dalam menjaga aurat dan menjaga pandangan dari lawan jenis yang bukan muh’rim.
Sebagian ulama Islam juga ada yang memandang bahwa cadar adalah bagian dari hal yang wajib dalam fiqih.
Pandangan ini juga boleh-boleh saja karena setiap kita memiliki kebebasan dalam berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Yang tidak boleh adalah saling menyalahkan dan saling menyudutkan, dan merasa diri paling benar di antara lainnya.
Lebih-Lebih jika hal tersebut disampaikan dalam sebuah forum yang diliput oleh banyak media.
Saya sebagai bagian dari anak muda bangsa ini, merasa lelah mengamati banyak tokoh bangsa ahir-ahir ini yang bersikap tidak bijak dalam menyampaikan sesuatu, tanpa pikir panjang.
Persatuan di tengah bangsa yang terjaga sedemikian lama Itu bukanlah sesuatu yang tercipta secara instan, tapi hasil kerja keras dari banyak tokoh bangsa.
Tidak tepat rasanya jika satu waktu kita katakan bahwa bangsa ini harus bersatu, namun di waktu yang lain kita siramkan bensin pada api yang masih menyalah dan berkobar karena pernyataan Ahok, lalu di lanjutkan dengan pernyataan Viktor Laiskodat, mantan anggota DPR RI Nasdem, lalu sekarang ditambahkan lagi 'bensìn'nya oleh Sukmawati dengan puisinya.
Saya meyakini, siapapun yang telah menuliskan puisi tersebut adalah pribadi yang tidak memiliki kemampuan mengimajinasikan seberapa besar dampak dari potensi kerusakan bagi persatuan bangsa Dengan membandingkan kemerduan suara kidung Ibu Indonesia dengan suara azan.
Jurang perbedaan yang kian curam di tengah bangsa yang tengah dirajut ulang oleh para tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dengan puisi Sukmawati akan menjadi mentah kembali.
Kelompok Islam kanan akan semakin menarik diri pada sisi yang semakin jauh dari kelompok nasionalis. Begitu pun sebaliknya, kelompok nasionalis pun akan semakin mejauhkan diri dari kelompok Islam.
Hasil ahirnya, polarisasi akan semakin menguat di tengah bangsa. Mungkin perlu di pertanyakan pada Sukmawati, apakah Indonesia berahir di 2030 Itukah yang menjadi keinginannya dengan puisinya tersebut?
Baca: Kisah Restorasi BMW E30 Tampil Orisinil Berbiaya Rp 500 Juta, Komponen Full Baru dari Jerman
Imbas Negatif ke PDIP
Selain Itu tidakkah Sukmawati menaruh empati pada Ibu Megawati, karna pastinya PDIP-lah yang akan terkena imbas paling besar, Bisa Jadi calon-Calon kepala daerah yang di dukung PDI P juga akan menangung akibatnya.
Pastinya hal ini juga akan memberi dampak besar bagi pilpres di 2019.
Hal ini akan menambah panjang cacatan buruk pemerintah, menurut umat muslim yang menjadi mayoritas di Negara ini, karna Sukmawati di persepsi sebagai bagian dari rezim hari ini.
Diperlukan kebijaksaan semua tokoh bangsa saat ini, untuk tidak semakin menambah tajam perbedaan yang Ada di tengah bangsa.
Rakyat sudah sangat lelah dengan situasi hidup yang berat, tanpa harus di tambahi lagi dengan kegaduhan-kegaduhan yang tidak berarti, yang tidak bisa menghadirkan solusi bagi persoalan bangsa.
Kesejateraan adalah hak dan harapan rakyat. Bisa makan dan membayar kebutuhan hidup sehari-hari saja Itu sudah lebih dari cukup bagi rakyat. Tidak perna berharap memiliki cincin-cincin mahal seperti para politisi yang hadir dalam acara debat-debat politik atau punya tas-tas mahal seperti para ibu-ibu pejabat yang harganya mampu untuk dipakai makan bertahun-tahun oleh satu kelurga.
Kemana hilang semua toleransi, etika dan empati yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Mohon gaduhlah, gaduh, segaduh gaduhnya demi menemukan solusi, agar kesejahteraan itu bisa sesegerah mungkin dirasakan oleh rakyat, bukan hanya menjadi impian yang tidak Perna temukan realita.
Jabar, 2 April di 2018
Damailah dan Jayalah Bangsaku...
Sejahteralah Rakyatnya