Syamsuddin Radjab
(Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar dan Direktur Eksekutif Jenggala Center)
TRIBUNNERS - Dalam konteks sejarah, hubungan Islam dan Negara dalam wacana politik ke-Indonesiaan sejak perumusan dasar negara sampai pada dua setengah dasawarsa di bawah pemerintahan Orde Baru penuh ketegangan, intimidasi dan kooptasi.
Islam sebagai agama yang merupakan tuntunan hidup bagi para pemeluknya memiliki nilai-nilai universalitas termasuk wilayah politik-kenegaraan.
Agama mengutamakan moral, peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan, sementara politik beorientasi pada kekuasaan dan polarisasi berdasarkan kepentingan individu dan kelompok.
Baca: Bantah Ditangkap KPK, Bupati Bandung Barat: Mereka Hanya Minta Klarifikasi
Dalam Islam, agama dan negara tidak terpisahkan, namun tidak berarti bahwa keduanya identik. Karena itu agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan namum tetap dapat dibedakan. Tidak terpisah, namun berbeda dan ini diyakini sebagaian besar umat Islam.
Baca: 6 Fakta Menarik Usai Persija Jakarta Vs Johor Darul Tazim, Aksi Simic Hingga Peluang Lolos
Hal demikian diakui oleh Vera Micheles Dean (1903-1972), seorang ahli politik kelahiran Rusia berkebangsaan Amerika Serikat bahwa Islam di dalamnya terdapat tata sistem hidup yang komprehensif tidak hanya memuat ajaran-ajaran teologis tetapi juga terkandung ajaran sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, sejarah dan budaya.
Kohesivitas
Agama dan negara dalam sejarahnya pun amat memiliki hubungan erat dan tidak dapat dipisahkan. Agama membutuhkan kekuasaan negara sebagai jaminan dalam menjalankan ajaran-ajaran ketuhanan bagi umatnya, sedangkan negara membutuhkan agama sebagi legitimasi bahwa keputusan yang dilahirkan mengandung nilai-nilai kebenaran, keadilan sehingga dapat dipatuhi oleh rakyat.
Kristen misalnya, tumbuh sebagai agama minoritas kecil yang tertindas sampai tiba masa raja Konstantin pada abad ke-4 yang menjadikannya sebagai agama negara sehingga Kristen menyebar dan dianut di seluruh penjuru Romawi. Begitu juga Nabi Muhammad SAW yang menjadi pemimpin negara Madinah sekaligus pemimpin agama Islam sehingga dianut disemua jazirah Arab.
Bahkan, terbentuknya negara Madinah ditengah masyarakat pluralis melalui “Piagam Madinah” diakui oleh George D.B. MacDonald sebagai konstitusi modern pertama di dunia dengan meletakkan dasar-dasar politik kewargaan bagi penduduk Madinah pada masanya yang memuat hak-hak dan kewajiban warga melalui baiat Aqabah pertama (621 Masehi) dan baiat Aqabah kedua (622 Masehi) sebagai kontrak sosial untuk saling melindungi termasuk melindungi kaum non muslim (kaum Zimmi); Yahudi dan Kristen.
Agama memberikan perangkat nilai dalam penataan negara agar terhindar dari pemerintahan tiran dan despotik, seperti keadilan, musyawarah, kesetaraan, tanggungjawab, saling menghormati dan lain-lainnya merupakan nilai yang inheren dalam pelaksaan pemerintahan negara.
Disisi lain, Islam memerintahkan agar mengontrol jalannya roda pemerintahan yang dapat diperankan oleh pemimpin umat dan ulama agar tetap pada nilai moral dan etika yang diajarkan agama.
Hal lain agama diharapkan dapat berperan mendorong proses demokratisasi atau melahirkan spiritualitas politik yang dapat menebarkan aroma dan nafas religius kedalam praktek politik kenegaraan.
Di sini hubungan Islam dan negara merupakan mutualis-simbiosis antara satu dengan yang lainnya. Kebijakan negara yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ajaran suci agama akan ditentang oleh penganut agama yang inheren menyatu dalam kehidupan masyarakat seperti kebijakan diskriminatif dalam ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain.
Dalam konteks itu, ada dua faktor proses untuk mengintegrasikan antara kepentingan Islam dan negara, yaitu: pertama, keterlibatan umat Islam secara proporsional dalam lembaga politik negara. Karena itu umat Islam harus berpolitik dan masuk ke partai politik yang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan Kedua, dipertahankannya politik nasional bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler tetapi negara yang mengakui eksistensi agama dan kebebasan menjalankan ajaran agama.
Karena itu, dari sudut pandangan Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler artinya bukan negara yang menganut sekulerisme berupa pemisahan negara dari agama dan bukan pula negara teokrasi dalam arti bukan negara yang kekuasaannya dipegang oleh para pemuka agama seperti pendeta, rohaniawan atau ulama dapat dibenarkan dan diterima dalam konsepsi bernegara.
Dalam pergolakan politik di Indonesia, elite politik Islam dimasa awal pembentukan negara menginginkan berdirinya negara yang berdasarkan Islam. Sementara disisi lain menginginkan corak nasionalis yang mengakomodir semua kelompok agama dan keyakinan karena kebhinekaan warganya.
Perdebatan dasar negara tersebut tergambar dalam risalah rapat dan sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sejak 25 Mei 1945 hingga 18 Agustus 1945 atau total 14 hari pembahasan rancangan UUD 1945.
Pada tiitk kesimpulan, para founding father Negara kita akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagai konstitusi negara. Dan hemat saya, memperdebatkan Islam, politik dan negara sudah berhenti sampai disini dan umat Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Kandungan Pancasila dan UUD 1945 kendatipun tidak lagi menyebut secara eksplisit agama Islam tetapi tetap mengakui konsepsi ber-Tuhan dan kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing memberi pemaknaan nyata bahwa agama dan negara (politik kekuasaan) tidak bisa dipisahkan.
Fungsi Agama dan Jokowi
Di pelbagai negara, agama dan keyakinan yang dianut masyarakatnya tak bisa dilepaskan dari kehidupan suatu bangsa atau negara. Renaissance (1350-1600) pada abad pertengahan di Eropa menurut Max Weber, disemangati oleh etika Protestan, peradaban bangsa sipit seperti Jepang, Taiwan, Korea, dan China dalam pandangan Robert N. Bella juga disemangati oleh ajaran Konfusius.
Dengan demikian Agama sangat berperan memberikan motivasi terhadap kemajuan negara karena diyakini sebagai sumber nilai, baik nilai moral maupun etika dalam menjalankan kekuasaan politik negara. Menjauhkan agama dengan negara sama halnya membiarkan negara tanpa tuntunan nilai moral dan etika dalam menyelenggarakan kekuasaan negara.
Tesis Elizabeth K. Nottingham menyatakan, ada tiga fungsi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu: Pertama, agama berfungsi sebagai pemelihara ketertiban masyarakat, karena nilai-nilai moral yang diajarkan agama banyak mempengaruhi perilaku elit pemerintah.
Kedua, berfungsi integratif, bahwa agama dengan ajaran moralitasnya melarang pemeluknya untuk saling bertikai, bertentangan dan bermusuhan tapi justru mengajarkan persatuan, persaudaraan, saling menghormati satu dengan yang lainnya, dan itu dapat bersatu dalam ikatan keyakinan terhadap agama;
Ketiga, pengukuhan nilai-nilai agama dengan ajaran budi pekerti, kejujuran, keadilan, kebenaran yang merupakan nilai dasar dalam penataan negara dan berkembangnya tatanan demokrasi yang dianut banyak negara.
Sangat mengherankan ketika Presiden Jokowi memberi komentar saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (24/3/2017) agar memisahkan Agama dan Politik merupakan pernyataan ahistoris dan memungkiri Pancasila dan jaminan konstitusi negara.
Pernyataan Jokowi dapat dinilai sebagai upaya sekularisasi yang ingin misahkan agama dan kehidupan bernegara dengan dasar-dasar negara yang telah dijelaskan diatas. Agama adalah alat integrasi nasional dan bukan alat pemecah persatuan sebagaimana di contohkan oleh para pendiri bangsa.
Saya berkeyakinan, semakin menjabarkan nilai-nilai agama yang dianut akan semakin memperkokoh persatuan nasional dan memberi inspirasi para pemeluknya dalam pembangunan negara. Mempertentangkan agama dan politik atau negara sama dengan mengembalikan debat ideologis dimasa awal kemerdekaan dan itu berarti kemunduran dalam bernegara.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan road show ke pelbagai Pondok Pesantren belakangan ini merupakan anomali tindakan politik; di satu sisi ingin memisahkan agama dan politik tetapi diwaktu lain ingin menarik dukungan kelompok agama untuk mempertahankan posisi politiknya.