Oleh: Anis Matta
TRIBUNNEWS.COM - Hari ini, 2 Mei 2018, untuk kesekian kalinya kita memperingati hari pendidikan nasional yang diambil dari hari kelahiran Raden Suwardi Suryaningrat. Pada usia 40 tahun ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Tak banyak dibahas betapa Raden Soewardi, yang lahir di keluarga ningrat Pakualaman, Yogyakarta, berkeputusan melepaskan gelar raden dari namanya agar bisa berdekatan dengan rakyat jelata di sekitarnya.
Jalan hidup Ki Hajar adalah jalan perjuangan dan peralwanan. Ia percaya pendidikan adalah jalan menuju pembebasan manusia dari keterbatasan dan ketertindasan.
Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar adalah untuk membimbing anak untuk menjadi manusia yang hidup dengan kecakapan dan kepandaian, berbuat sesuatu yang berguna tidak saja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan itu, Ki Hajar mengembangkan metode pedagogi yang relevan sampai sekarang, seperti bermain peran (role play) dan studi kasus.
Bagi Ki Hajar, perjuangan pendidikan adalah perjuangan politik karena dasarnya adalah memperjuangkan manusia.
Jejak pemikiran Ki Hajar juga bisa kita lihat di organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo, Indische Partij (partai politik pertama yang berhaluan nasionalisme Indonesia), dan ketika Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam. Selain itu, Ki Hajar juga penulis andal di koran-koran pergerakan waktu itu.
Gelombang Ketiga
Kini, lebih dari satu abad dari kelahiran Ki Hajar, bagaimana kita merumuskan arah pendidikan bangsa kita?
Dalam berbagai kesempatan saya telah menjelaskan pembagian periode sejarah Indonesia dengan analogi gelombang. Gelombang di sini merupakan satuan waktu yang cukup luas dan longgar agar kita bisa melihat gambaran besar pola dan kecenderungan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satuan waktu tersebut.
Gelombang pertama terjadi sejak masa penjajahan hingga Indonesia merdeka. Gelombang ini saya beri nama “menjadi Indonesia”.
Pada masa ini, terjadi perubahan cara berpikir karena struktur sosial saat itu, yaitu etnis atau suku bangsa, dan struktur politik berupa kerajaan-kerajaan kecil Nusantara tidak lagi relevan untuk melawan penjajahan.
Karena itu dibutuhkan transformasi besar dan itu terjadi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dengan sumpah itu, etnis bertransformasi menjadi bangsa dan kerajaan bertransformasi menjadi bayangan tentang kesatuan teritori (“tanah air”) berupa negara merdeka.