Ketiga, eksperimental. Sifat utama gelombang ketiga adalah meningkatnya konektivitas dan cepatnya perubahan yang terjadi. Tingginya kompleksitas dan perubahan yang sangat cepat berimplikasi sulitnya melakukan prediksi dan betapa setiap solusi yang ditemukan memiliki waktu kadaluwarsa sangat pendek.
Akibatnya, mau tidak mau kita harus memiliki pola pikir yang selalu terbuka dan berani mengambil risiko. Berani mengakui keterbatasan intuisi dan mengakui setiap solusi sifatnya temporer. Kita harus membuat eksperimentasi menjadi default.
Terakhir, kreatif. Adakalanya jalan buntu tetap menghadang meskipun segala daya upaya telah dikerahkan. Pada situasi seperti ini, hal yang akan menyelamatkan kita adalah kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan untuk memulai ketika yang lainnya terhenti. Pada era konektivitas tinggi ini kita perlu mendefinisikan ulang arti kreativitas.
Biasanya kreativitas dianggap sebagai hasil dari intuisi jenius dari individu yang terisolasi. Dalam gelombang ketiga, kreativitas adalah kemampuan menggabungkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya menjadi sebuah entitas baru. Konektivitas menjadi sumber kreativitas.
Itulah arah baru dunia pendidikan Indonesia. Keempat elemen pola pikir itu perlu dikembangkan dalam lingkungan pendidikan kita. Tentu kita juga membutuhkan budaya pendidikan baru yang menempatkan manusia sebagai sentral.
Sejumlah kejadian yang merendahkan murid dan memperlakukannya bukan sebagai manusia sentral dalam pendidikan membutuhkan penanganan yang tepat. Afirmasi 20 persen APBN ke sektor pendidikan harus menghasilkan suatu generasi yang unggul, bukan habis diserap oleh relung-relung birokrasi pendidikan.
Ketika pendidikan kita berhasil menghasilkan manusia dengan pola pikir dan orientasi peradaban, itulah modal penting Indonesia layak menjadi salah satu kekuatan utama dunia.
* Anis Matta, Pemerhati bidang Sosial dan Politik