Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Salah satu kaki partai politik yang selama ini tertancap di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) teramputasi sudah, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review (uji materi) Pasal 128 huruf I Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Senin (23/7/2018).
Dalam pasal tersebut, terdapat frasa "pekerjaan lain" dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD.
Namun, dalam frasa tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus parpol diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tak adanya penjelasan atas frasa "pekerjaan lain” yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan “peraturan perundang-undangan” dalam pasal tersebut.
Nah, putusan MK yang fenomenal tersebut mengembalikan marwah DPD sebagai institusi perwakilan daerah, bukan perwakilan parpol.
Implikasinya, pengurus parpol dilarang menjadi anggota DPD. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang sementara ini menjadi tempat “indekos” para anggota DPD, bahkan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang merupakan Ketua DPD, dipastikan akan mengalami “bedhol desa”.
“Bedhol desa” (bahasa Jawa), dalam bahasa Indonesia berarti berbondong-bondongnya warga keluar dari suatu desa untuk berpindah ke desa atau daerah lain. Banyak pengurus Hanura yang menjadi anggota DPD harus mundur dari salah satunya, pilih DPD atau pengurus parpol.
Diyakini, mereka akan lebih memilih DPD daripada pengurus parpol, karena institusi ini bisa memberikan “penghidupan”. Tak terkecuali mereka yang maju kembali sebagai calon senator DPD di Pemilu 2019.
Bagi anggota DPD yang berani gambling karena menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019, mungkin mereka rela mundur dari DPD dan tetap menjadi pengurus Hanura atau parpol lain demi tetap bisa menjadi caleg.
Bila tetap menjadi anggota DPD sekaligus caleg, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mencoretnya. Sebaliknya, bila mencalonkan diri menjadi anggota DPD tapi tetap menjadi pengurus parpol, KPU pun harus mencoretnya.
Sekretaris Jenderal Hanura Sjarifuddin Sudding pernah mengklaim, 70 anggota DPD periode 2014-2019, dari total 132 anggota DPD, bergabung ke Hanura, dan 27 orang di antaranya menjadi pengurus parpol besutan Wiranto ini.
Namun saat terjadi “goro-goro” di internal Hanura yang hingga kini belum berkesudahan, hingga akhir 2017 tercatat sebanyak 28 pengurus parpol ini berstatus anggota DPD.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Senin (23/7/2018), menyatakan, bagi pengurus parpol yang mencalonkan diri menjadi senator DPD, maka harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol.