Sebelumnya, Pasal 182 UU Pemilu yang mengatur persyaratan perseorangan untuk menjadi calon anggota DPD tidak secara tegas menyebut ada larangan bagi pengurus parpol untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.
Tak pelak, putusan MK tersebut disesalkan Ketua DPP Hanura Benny Ramdhani, lantaran MK mengeluarkan putusan di injury time (menit-menit terakhir) pendaftaran calon anggota DPD dan caleg Pemilu 2019.
Menurutnya, hal itu mengancam hak politik para pengurus Hanura yang tetap ingin mempertahankan keanggotaannya di DPD, tapi tak sempat menyiapkan proses perpindahan untuk pendaftaran caleg di DPR.
Semestinya, katanya, sebelum mengeluarkan putusan itu, MK mempertimbangkan aspek teknis bagi pengurus parpol yang sudah mendaftar sebagai calon anggota DPD untuk pindah ke pencalonan di DPR. Pendaftaran calon anggota DPD dibuka pada 9-11 Juli 2018, perbaikan persyaratan dibuka pada 21-24 Juli 2018.
Lalu, bagaimana nasib pengurus parpol yang sudah telanjur mendaftar sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019? Sejatinya Hanura tak perlu galau.
Sebab, MK telah menyatakan KPU dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di parpol. KPU dapat memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk tetap menjadi calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan parpol.
Memang, faktanya banyak pengurus parpol yang mencalonkan diri menjadi anggota DPD kemudian terpilih, karena mereka memanfaatkan jaringan di parpol. Sebaliknya, mereka yang benar-benar independen dan tak punya jaringan di parpol banyak yang gagal terpilih.
Ini tentu tidak adil, dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Distorsi Politik
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Dengan kata lain, MPR adalah wujud perwakilan politik dan perwakilan wilayah.
Putusan MK itu pun menjadi pintu masuk memurnikan DPD sebagai institusi perwakilan daerah/wilayah. DPD bukan perwakilan politik, melainkan regional representation, mewakili kepentingan daerah. Dengan demikian, marwah DPD sebagai representasi daerah pun dikembalikan oleh MK.
Kita sependapat dengan MK bahwa diperbolehkannya pengurus parpol menjadi anggota DPD dapat memicu distorsi politik.
Distorsi dimaksud ialah lahirnya perwakilan ganda atau double representation parpol dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam keputusan politik penting seperti perubahan UUD. Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
Jika anggota DPD berasal dari pengurus parpol, berarti akan terjadi perwakilan ganda dalam keanggotaan MPR, di mana parpol yang sudah terwakili dalam keanggotaan DPR juga terwakili dalam keanggotaan DPD.