Dikirimkan oleh Moh. Fadhil, Dosen Ilmu Hukum IAIN Pontianak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumat tanggal 20 Juli 2018 tepatnya di malam hari KPK berhasil membongkar praktek perdagangan fasilitas di Lapas Sukamiskin Bandung.
Mungkin malam itu hanya menjadi malam yang berat dan gelap bagi para narapidana dan kepala Lapas Sukamiskin yang ikut tertangkap oleh operasi senyap KPK tersebut, namun sesungguhnya gelapnya operasi senyap tersebut ikut membuka tirai gelapnya masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Baca: Soal Kabar Guy Junior Merapat ke Persib Bandung, Mario Gomez: Siapa Dia?
Masalah penyalahgunaan jabatan di lapas yang berujung pada praktik perdagangan fasilitas memang bukan hal yang baru di Indonesia, tengok saja sel mewah Artalyta Suryani, bilik asmara Freddy Budiman hingga plesiran sang mafia pajak Gayus Tambunan (escape plan).
Maka, OTT di Lapas Sukamiskin menjadi lanjutan anyar dari rangkaian kisah bobroknya mekanisme penitensier bagi para terpidana kasus-kasus kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
Sesungguhnya keadaan tersebut tidak hanya dialami di Indonesia, di Amerika keadaan demikian disebut dengan istilah prisons corruption.
Fenomena tersebut rentan terjadi pada narapidana kelas kakap yang notabene memiliki kemampuan finansial yang kuat.
Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Columbia Law School di Amerika mengungkap bahwa para petugas lapas di Amerika maupun pimpinan lapas yang kerap memperdagangkan kuasanya (trading in influence) cenderung untuk menawarkan berbagai macam fasilitas kepada para narapidana, seperti penyelundupan barang-barang elektronik (smuggling cell phones), obat-obatan atau narkoba (drugs), senjata api (smuggling weapons), bantuan pelarian (escape plan) hingga bantuan mengendalikan bisnis kejahatan dari balik sel (orchestrated crime). Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan dengan bayaran yang pas (bribes) atau dengan kenikmatan seksual (sexual favors).
Lapas dalam Sistem Peradilan Pidana
Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) memerlukan penanganan yang luar biasa pula (extra-ordinary measures).
Eksistensinya yang konsisten di wilayah pidana khusus (lex specialist) tentu memiliki instrumen-instrumen khusus yang digunakan dalam memberantas tipikor.
Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), eksistensi lapas sama kedudukannya dengan lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian/KPK, Kejaksaan, Pengadilan dan Advokat.
Korelasi antara lapas dan seluruh komponen institusi penegak hukum di atas menurut Ishikawa adalah terikat dan terpadu ibarat rantai yang terpasang pada roda bergigi.
Semua bekerja dengan kombinasi yang pas untuk menghasilkan putaran yang ekuilibrium. Keterpaduan tersebut berakar pada mekanisme sistem yang dibangun untuk memacu efektivitas daya gerak mekanistis pada proses peradilan pidana yang berorientasi pada ketercapaian tujuan peradilan pidana.