News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Lapas Sukamiskin dan Fenomena Korupsi di Penjara

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Barang-barang yang disita dari ruang tahanan napi korupsi di Lapas Sukamiskin, Bandung

Lapas sebagai organ terakhir dan inti dari proses peradilan pidana adalah tempat pengujian terhadap ketercapaian tujuan peradilan pidana.

Selain berorientasi pada pemberian efek jera (deterrent), pemberian rasa puas kepada masyarakat sekaligus perlindungan terhadap masyarakat (social defence) juga sebagai tempat pembinaan sekaligus pemulihan kesadaran narapidana (consciousness of inmates) yang meliputi pembentukan karakter, pendidikan, konseling, penyegaran rohani dan pembangunan kreativitas dan keterampilan.

Pembinaan narapidana merupakan ihwal esensial yang menjadi nyawa eksistensi lapas. Jika paradigma pemidanaan pada masa lampau lebih berorientasi kepada pemberian efek jera (deterrent) dan perlindungan masyarakat (social defence), maka paradigma saat ini juga termasuk pembinaan kepada narapidana agar dapat diresosialisasi dan reintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat (reintegrated).

Menggugat Lapas Koruptor

Terkuaknya sel-sel mewah narapidana koruptor di lapas sukamiskin kembali menyentil nalar kita bahwa pemberantasan tipikor tidak berakhir sampai putusan pidana tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Efektivitas pemidanaan haruslah dilihat secara komprehensif hingga pada aspek penitensier sebagai tempat pencucian virus-virus tipikor. Bayangkan jika untuk membersihkan kotoran kita menggunakan sapu yang kotor, maka kotoran hanya akan semakin menyebar (widespread).

Paradoks yang kian tertanam pada persepsi masyarakat tentang lapas bukan lagi tempat rehabilitasi virus-virus kejahatan, tetapi menurut Anwar dan Adang, lapas juga bisa menjadi tempat para narapidana belajar atau mengupgrade keterampilan (skills) tentang kejahatan, sehingga terminologi lapas dapat berarti sebagai sekolah kejahatan (the academy of crimes).

Dalam konteks pemberantasan tipikor, sentralisasi narapidana koruptor ke dalam suatu lapas khusus bukanlah jalan keluar terbaik. Pada dasarnya memang lapas sukamiskin bukanlah lapas khusus koruptor, namun tren menempatkan para narapidana tipikor ke lapas sukamiskin patut untuk dikaji ulang. Formula tersebut harus dikaji secara komprehensif dalam aspek sistem administrasi peradilan pidana terpadu.

Baca: Jelang Pemilu 2019, KY Akan Pantau 200 Lingkungan Peradilan

Menyatukan narapidana koruptor hanya akan memperkuat solidaritas. Kecenderungan yang terjadi adalah tuntutan akan fasilitas untuk memenuhi pergeseran rutinitas. Keadaan tersebut cenderung dimanfaatkan oleh pemilik otoritas di dalam lapas yang menjadikannya komoditas dalam bentuk menjual pengaruh (trading in influence) dalam meraup keuntungan pribadi bahkan sistemik hingga mencapai taraf prison corruption.

Narapidana koruptor yang notabene memiliki finansial dan akses yang kuat tentu terbiasa dengan kehidupan normal yang penuh fasilitas hidup. Saat kenyataan berkata bahwa pada akhirnya mereka harus menempati hotel prodeo yang kumuh, tentu secara psikologi akan berdampak pada kesehatan mental, maka tidak heran jika kondisi kesehatan mereka cenderung tidak stabil. Keadaan ini menyebabkan potensi suap di sektor lapas terjadi (bribery).

Berdasarkan hasil OTT KPK dan penelusuran pada program Mata Najwa dapat dilihat bahwa keadaan di atas sudah berjalan sedemikian rupa. Hal ini menjadi tamparan keras bagi kondisi sistem peradilan pidana korupsi di Indonesia. Jika para koruptor dengan begitu mudahnya merenovasi sel-sel lengkap dengan fasilitasnya, maka lapas tidak lagi menjadi tempat yang isolatif terhadap virus-virus korupsi dan menciptakan diskriminasi terhadap narapidana kasus lain yang .berpotensi memicu resistensi terhadap pembinaan yang dianggap berwajah palsu dibalik jubah nan suci.

Solusi yang tepat adalah dengan tidak melokalisasi narapidana korupsi secara khusus ke dalam satu lapas, tetapi dengan membaurkannya kepada narapidana-narapidana lain untuk membangun kultur asosiatif di dalamnya. Pendapat Jupri mengenai penghapusan sistem blok narapidana dan roling narapidana koruptor juga patut diakomodir, kecuali blok narapidana narkotika dan terorisme yang masuk kategori berbahaya (high risk) masih relevan dan urgen dengan lokalisasi khusus di pulau-pulau terpencil.

Dengan membaurkan narapidana koruptor ke narapidana lainnya justru akan mudah untuk diawasi. Proses adaptasi diharapkan mampu membangun kultur asosiatif dan solidaritas yang positif dengan penyamarataan program pembinaan dan proses asimilasi berupa kerja sosial di masyarakat. Melakukan roling dengan mengirimkan narapidana koruptor ke daerah lain juga optimal untuk mencegah pintu masuknya priso corruption. Koruptor akan belajar banyak hal dengan berbagai ragam perspektif narapidana untuk merestorasi cara pandangnya.

Selain beberapa masukan diatas yang sifatnya sentripetal dalam lingkaran lapas adalah rasionalisasi tunjangan bagi para sipir. Negara harus melihat peran strategis sipir sebagai pelaksana kebijakan hukum pidana. Hal ini untuk meningkatkan kinerja yang ditunjang dengan rekonstruksi sistem pengawasan berbasis digital serta pola pendidikan sipir yang berkelanjutan. Pola rekrutmen yang transparan berbasis kualifikasi dan integritas, tunjangan atau remunerasi yang layak, penghargaan dan program insentif bagi sipir berprestasi, rotasi dan promosi yang akuntabel. Semua indikator di atas sesuai amanat Konvensi Anti Korupsi PBB (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini