TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Sampai dengan tahun 2015 di dalam hukum positif kita belum dikenal istilah korupsi politik. Istilah tersebut baru muncul secara resmi setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan No 1261/Pid.Sus/2015 yang menghukum Anas Urbaningrum dalam tindak pidana korupsi. Putusan lainnya menyebut juga nama mantan Bupati Karanganyar Rina sebagai pelaku korupsi politik. Oleh sebab itu di dalam khazanah hukum pidana kita sekarang memang sudah ada term korupsi politik."
Baca: 5 Potret Pesona Reporter Manis Calon Istri Furry Setya Mas Pur Tukang Ojek Pengkolan
Hal itu disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat menjadi keynote speaker pada dialog publik tentang korupsi politik di negara moderen yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Padang (UNP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Padang Selasa (25/9/18).
Baca: Wisma Atlet Kemayoran ke GBK Ditempuh 36 Menit Menggunakan Bus Low Deck
Menurut Mahfud dalam dialog yang dihadiri oleh rektor, dekan, dosen, dan sekitar 1000 mahasiswa itu, korupsi politik adalah korupsi yang dilakukan dengan menggunakan kedudukan dan pengaruh jabatan politik untuk memanipulasi APBN/APBD sehingga merugikan keuangan negara.
Korupsi politik juga mencakup penerimaan dana atau fasilitas yang menggunakan pengaruh jabatan atau kedudukan politik meskipun tidak merugikan keuangan negara, seperti suap dan gratifikasi.
Pelaku korupsi politik bukan hanya aktivis atau pengurus partai politik tetapi juga pejabat-pejabat lain yang ada di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain-lain.
“Pokoknya, yang menggunakan pengaruh jabatan publiknya untuk berkorupsi itulah pelaku korupsi politik," kataMahfud MD yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) tersebut.
Meskipun pelaku korupsi politik bukan hanya aktivis atau pengurus parpol tetapi faktanya memang banyak melibatkan tokoh-tokoh parpol.
Mahfud mengatakan bahwa keberadaan parpol adalah perintah konstitusi sbg salah satu instrumen demokrasi.
Oleh sebab itu dia menegaskan bahwa parpol harus ditata ulang sistemnya agar lebih mendukung pemberantasan korupsi.
Konfrensi Hukum Tata Negara II tahun 2016 di Universita Andalas Padang dan Indonesia Corruption Watch (ICW), kata Mahfud, telah merekomendasikan parpol dibiayai oleh negara dan dibolehkan melakukan bisnis asal wajar dan mengikuti aturan dalam hukum bisnis.
“Adanya parpol adalah keniscayaan demokrasi dan perintah konstitusi. Oleh sebab itu parpol harus dibina nelalui rekayasa hukum, bukan dilemahkan posisinya di dalam kehidupan politik nasional," ujar Mahfud megakhiri.
Selain dihadiri oleh Prof. Ganefri yang memberikan sambutan sebagai Rektor UNP, dialog publik yang disambut antusias dan meriah itu dihadiri pula oleh Fabri Diansyah dari KPK dan Donal Fariz dari ICW sebagai narasumber.