Sayangnya, dia memakai kebohongan demi kebohongan untuk mendongkrak citranya.
Begitu besar kebohongan yang dia ciptakan sehingga bukan saja tidak bisa mundur lagi, melainkan menghancurkan reputasinya sampai titik nadir saat terbongkar.
The Truth About Lies memang sekadar film.
Bukankah film pun adalah sandiwara? Drama pun sering diangkat dari fenomena asli yang terjadi di masyarakat.
Sebagai penonton yang bijak, kita tidak hanya diharapkan terhibur oleh tontonan itu, melainkan mengalami pencerahan. Apa yang bisa kita jadikan cermin dari film ini?
Kontestasi pilpres mendatang sudah dalam taraf point of no return.
Petahana tentu saja ingin mempertahankan—dalam bahasa mulianya—meneruskan karyanya yang baru sebagian jadi.
Sebaliknya, oposisi merasa inilah ‘perang terakhir’ yang harus dimenangkan, karena sudah beberapa kali kalah dalam palagan. Kesempatan ke depan tampaknya tidak ada lagi.
Kompetisi boleh saja keras dan tajam, namun jangan pernah melupakan satu hal ini.
Tujuan masing-masing pihak adalah untuk menjadi pemimpin nomor satu di republik ini sehingga bisa membangun Indonesia lebih baik dari saingannya. Itu saja.
Alangkah bijaknya jika tujuan itu tidak dikotori oleh praktik yang justru memporak-porandakan bangsa dengan saling tuding, saling hujat dan akhirnya saling sikat.
Adalah tindakan yang menyejukkan jika janji ‘siap kalah dan siap menang’ diwujudkan dengan tindakan merangkul kelompok yang kalah dan mengakomodasi program-program yang dirasa baik untuk kepentingan bersama.
Baca: Namanya Dicatut Dalam Kasus Suap Pejabat Bekasi, Tina Toon Sempat Tulis Soal Hoax
Pilihan boleh beda, tetapi tujuan utama tetap sama: membangun Tanah Air tercinta, siapa pun pemimpin yang terpilih.
Jika Anda setuju dengan cita-cita ini, jangan lagi menggoreng ikan sebesar perahu nelayan di penggorengan raksasa. Wajan sudah mendidih. Sejukkan dengan men-share tulisan yang mendinginkan suasana.
Setuju?