Dengan melibatkan dan menghidupkan ingatan tentang dan program politik Orde Baru, kubu Oposisi ingin mendaur ulang “Negara Orde Baru”.
Sedangkan Jokowi ingin melanjutkan reformasi ini pada gerak linear yang maju ke depan, dengan menanggalkan segala bentuk praktek politik masa lalu yang hanya menyisakan ingatan kegelapan dan kehancuran.
Quo Vadimus?
Lantas, kita harus kemana? Quo vadimus? Sejarah bangsa ini adalah sejarah keterlibatan seluruh elemen bangsa dari semua suku, agama, ras, dan antargolongan.
Maka, membangun Indonesia harus berdasrakan prinsip keberagaman yang menjadi jiwa dari Pancasila dan UUD 1945 dalam membentuk fondasi idiil dan konstitusional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, dalam rangka menjaga dan mempertahankan keindonesiaan yang ada, kita perlu mengedepankan paradigma dan model politik yang berlandaskan penghargaan terhadap keberagaman, pengakuan dan penghargaan terhadap toleransi, dan optimism tentang masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pemilu pada hakikatnya adalah perayaan kemanusiaan—sebuah mekanisme demokrasi untuk merayakan hak politik rakyat dalam berbangsa dan bernegara, bukan sebuah peperangan yang menghancurkan dan menakutkan.
Untuk itu, masyarakat harus bersatu menolak segala bentuk propaganda dan narasi yang menebarkan ketakutan dan kebencian—sebaliknya kita harus bersatu padu dalam damai mengusung demokrasi yang berlandaskan kedamaian, kecintaan terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Selama rakyat bersatu, selama demokrasi dibangun dengan semangat persaudaraan, selama pemilu menjadi momen perayaan martabat kita sebagai “manusia”, Indonesia tidak akan pernah punah kapanpun dan oleh kekuatan apapun.
Selama Pancasila tidak dirongrong oleh paham ekslusif yang ingin mendirikan Negara Bersyariah, Indonesia akan tetap hebat dan berdiri kokoh selama-lamanya.
Jakarta, 21 Desember 2018