Asas ini secara umum dapat diartikan dengan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Dalam hierarki peraturan Perundang-undangan di Indonesia, posisi Peraturan Pemerintah (PP) itu berada di bawah UUD 1945, ini artinya YIM yang mendasarkan argumentasinya hanya semata pada PP No.28/2006 sebagai dalil untuk membebaskan ABB sangatlah tidak tepat, sebab di dalam konstitusi (UUD 1945) Pasal 30 ayat 1 telah dinyatakan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 di atas mengandung arti bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara dengan cara di antaranya adalah harus setia pada ideologi negara, yakni Pancasila dan setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebab tanpa Pancasila dan NKRI berarti Indonesia bubar.
Lalu bagaimana mungkin ABB yang tidak bersedia menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI harus dibebaskan dari penjara, terlebih status ABB adalah narapidana Terorisme?
Baiklah, jika asas Lex superior derogat legi inferior masih tidak cukup memuaskan untuk menolak argumentasi hukum YIM, maka akan saya kemukakan disini asas penafsiran hukum berikutnya, yakni asas Lex posterior derogat legi priori.
Asas ini bermakna hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).
Ini berarti bahwa PP No.99/2012 harusnya lebih didahulukan daripada PP No.28/2006.
Selain daripada itu harus pula diingat oleh YIM, bahwa ada syarat formil untuk perkara narapidana terorisme yang harus dipenuhi oleh ABB jika benar-benar ingin dibebaskan.
Syarat formil sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 dan dijabarkan secara detail melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.3/2018 Tentang Syarat dan Tatacara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat itu antara lain adalah:
Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, serta menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI secara tertulis.
Sayang sekali ABB nyatanya tidak bersedia memenuhi syarat formil untuk perkara narapidana terorisme itu.
ABB tidak bersedia menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI, olehnya saya sangat sepakat bahwa pada akhirnya Presiden Jokowi pun menolak saran dari YIM untuk membebaskan ABB meski Pemerintahan Jokowi akan tetap memperhatikan penanganan kesehatan bagi Ustadz ABB yang memburuk di usia beliau yang memasuki 81 tahun.
Hukum yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu memang terasa kejam bagi seorang narapidana yang berusia 81 tahun.
Namun jika membiarkan ratusan juta rakyat tanpa kepastian hukum akan jauh terasa lebih kejam, karena itu pembatalan pembebasan hukuman penjara untuk ABB yang diputuskan oleh Pemerintahan Jokowi adalah suatu keputusan yang sangat arif dan bijaksana.
Kecuali ABB bersedia menyesali perbuatannya dan mau menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI itu beda persoalan lagi. Demikian. Wallahu a'lam bishawab...