Dia akan menjadi sama bisingnya, seperti peluru yang pernah dia tembakkan ke kubu itu dengan “jenderal kardus”.
Bagi AA, bermain politik sama halnya dengan pertandingan softbol, olahraga kegemarannya.
Saya mengenalnya cukup lama, sejak kami menjadi mahasiswa di UGM dan bersama menggerakkan jaringan mahasiswa pro demokrasi di berbagai kota pada awal 1990an dan bersama masuk daftar aktivis gerakan mahasiswa yang diculik Tim Mawar pada 1998.
Karena itu, meskipun kami berbeda pilihan, ikatan perkawanan masihlah cukup baik.
Kami bersitegang dan mungkin akan tak bertegur sapa untuk beberapa saat karena berbeda jalan.
Tapi segelas kopi dan kenangan yang sulit dipadamkan kadang menganyam apa yang koyak itu.
Sebagai kawan, AA adalah seorang kawan yang baik.
Dia peduli dengan temannya yang kesulitan, dia bermurah hati memberikan sebagian gajinya kepada kawan yang sakit dan mendapat kemalangan.
Tidak peduli haluannya apa, membenci atau memujanya.
Ketika saya terjebak dalam gencatan senjata yang macet di pedalaman Aceh, saat TNI garang bertempur dengan GAM waktu itu, dia mengirim pesan pendek setelah melihat berita tentang itu di televisi: “Segera kembali ke Jakarta ya. Kamu jangan mati dulu”.
Saya membacanya sambil tersenyum kecut.
Semasa mahasiswa di Yogyakarta, dia adalah salah satu “bintang” di kampus Fisipol.
Sering menulis di koran lokal, terampil berdiskusi, dan garang di mimbar bebas demonstrasi.
Kami bersama membangun satu organisasi aksi yang sangat populer pada masa itu di UGM, Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima) yang kemudian menjadi tulang punggung bagi pembangunan gerakan yang lebih besar dan serius, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).