Ketika Peristiwa 27 Juli 1996 meletus (inilah pengantar ke eskalasi politik kejatuhan kediktatoran Orde Baru), dan SMID dituduh sebagai dalang kerusuhan itu dan dicap sebagai organisasi terlarang, AA tiba-tiba muncul di sebuah jumpa pers di Yogya, yang diorganisir diam-diam, dan setelah memberi pernyataan menggemparkan, dia kembali menghilang bersama kawan-kawannya.
Jakarta murka karena pada saat jumpa pers itu AA merontokkan semua versi tuduhan Orba itu.
Dia, saat itu Ketua Umum SMID, menjadi buruan nomor satu setelah Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan PRD ditangkap.
Berbagai “hoax” muncul, bahwa anak-anak muda itu adalah titisan komunis, yang tentu saja ditanggapi masyarakat sebagai dagelan politik yang menggelikan.
YB Mangunwijaya pernah menulis kolom di sebuah majalah saat tuduhan itu terlontar, dan dia mencontohkan bagaimana AA yang melakukan jumpa pers diam-diam itu dengan mengenakan baju softbol dituduh aneh-aneh.
"Bagaimana mungkin anak-anak muda berwajah mbois itu komunis?”, begitu kira-kira Romo Mangun menulis.
AA sejak itu memimpin jaringan PRD bawah tanah. Dia sangat garang.
Hidupnya 24 jam politik. Sampai semuanya berakhir di 1998.
Setelah 1998, banyak di antara mantan aktivis mahasiswa itu memilih jalannya masing-masing.
Ada yang meneruskan sekolah sampai PhD, ada yang jadi pengusaha, wartawan, dan tentu saja politisi.
AA memilih jalan politik, dan dia dengan sadar menjalaninya dengan berbagai risiko.
Saya tahu banyak yang jengkel dengan ulahnya, meskipun banyak juga yang memuji manuvernya.
Tentu banyak yang saya tak tahu juga, misalnya bagaimana dia bisa berujung dengan apa yang diberitakan hari-hari ini.
Bagi saya pribadi, AA tetaplah seorang kawan, dan demikian terus adanya.