Besarnya biaya politik menjadikan para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, kejar setoran dengan menempuh jalan pintas bahkan menabrak rambu-rambu, yakni korupsi.
Begitu terpilih, yang muncul pertama di benak mereka adalah bagaimana bisa balik modal, dan kalau sudah balik modal, mereka berpikir lagi bagaimana mencari modal untuk pencalonan berikutnya. Segala cara pun dihalalkan, termasuk korupsi.
Kian besar kekuasan, kian besar pula potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaannya. Ini selaras dengan adagium Lord Acton (1834-1902),
“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan absolut pula korupsinya).
Akankah high cost politik kembali menelan “korban” yang sekaligus sebagai pelaku?
Selama sistem pemilu masih seperti sekarang ini, dan selama masyarakat permisif terhadap money politics, plus lemahnya pengawasan dari aparat serta rendahnya hukuman yang diterima koruptor, jangan berharap tak akan muncul “korban-korban” sekaligus pelaku-pelaku high cost politics berikutnya. Mereka tak akan jera.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.