Mereka meyakini toleransi tak cukup hanya diajarkan tapi harus dirasakan.
Karena itu, komunitas ini menggunakan sistem live in (hidup bersama) agar pelajar dan keluarga barunya dapat saling mengenal, memahami, dan merasakan indahnya menjadi keluarga tanpa melihat latar belakang yang berbeda.
Komunitas tempat saya bergabung, Generasi Literat, memilih menggunakan metode permainan, sebagai cara yang efektif dan menyenangkan dalam proses belajar.
Secara rutin, kami mengajak anak dan remaja lintas iman untuk bermain “Kartu Pancasila” dan “Ular Tangga Nusantara” untuk mengenalkan keberagaman dan kekayaan Indonesia, serta aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ini diadakan di taman, sekolah, atau rumah ibadah.
Di atas hanya beberapa contoh. Tentu masih banyak yang lain.
Dari testimoni peserta yang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh komunitas-komunitas di atas, cara-cara itu lebih menyentuh dan lebih praktis untuk dipraktikkan.
Marketing Pancasila Untuk Zaman Old
Lalu bagaimana “menjual” Pancasila ke generasi zaman old-generasi baby boomers- yang merupakan orang tua kita?
Cara-cara kreatif semacam permainan yang dipakai untuk generasi milenial, mungkin akan kurang efektif.
Karena beberapa orang tua malu untuk kembali ke masa kecilnya.
Sebagian lagi merasa metode bermain berarti hanya main-main, bukan belajar.
Menurut saya, mengangkat kearifan lokal di setiap daerah di Indonesia akan lebih baik.
Sebab, para orang tua kita lebih dekat dan mungkin masih mengingat kebiasan-kebiasaan lokal yang sebenarnya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Indonesia memiliki banyak sekali falsafah hidup yang menjadi kearifan lokal dari Aceh hingga Papua.
Di Aceh, misalnya, ada tradisi “Duekfakat” (duduk bermusyawarah untuk mencapai mufakat).
Di Lampung, ada falsafah “Piil Pesenggiri” yang mengajarkan nilai kasih sayang, kekeluargaan dan gotong-royong.
Di Sulawesi Selatan, suku Bugis memiliki falsafah “Siri na Pesse” yang mengajarkan tiga prinsip utama : “Sipakatau” (saling memanusiakan), “Sipakainge’” (saling mengingatkan), dan “Sipakalebbi” (saling menghargai).