Adapun kesimpulan keempat, sangat patut dicatat, yakni wilayah ini masih berpotensi banjir dan longsor di masa depan.
Atas kondisi itu pula, lahir sejumlah rekomendasi untuk mengurangi dampak ancaman bencana tanah longsor dan banjir bandang ke depan. Salah satunya menjaga alur sungai tetap lancar dengan menjaga kelestariain hutan di wilayah pegunungan Cycloops. Selain itu juga perlu melakukan naturalisasi jalur sungai.
Bila perlu dilakukan pengerukan material sedimentasi di sepanjang alur sungai terutama di bagian hilir serta sungai yang dilintasi jembatan.
Pada alur sungai yang terbangun jembatan, harus dibuat bangunan penahan erosi air. Di samping, menyingkirkan batu berukuran boulder atau bongkahan di jalur sungai. Tujuannya menghindari terbentuknya bendungan alam.
Para pihak juga merekomendasikan agar tidak membangun di wilayah terdampak banjir. Adapun bangunan yang sekarang sudah bercokol di wilayah bantaran sungai, mulut lembah sungai, dan teluk sungai yang berbatas perbukitan dengan kemiringan lereng curam mesti dicarikan solusi konkret.
"Karena ini ancamannya permanen maka solusi penyelesaiannya juga harus permanen, " kata Agus Budianto dari Badan Geologi ESDM memaparkan.
Rekomendasi lainnya adalah membangun, memperbaiki, dan membersihkan drainase, menata wilayah sesuai Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Jayapura dan mempertimbangkan aspek geologi.
Selain itu, membangun sabo DAM di lokasi jalur sungai yang berpotensi mengancam wilayah permukiman dan infrastruktur lainnya.
Khusus yang terkait pegunungan Cycloops juga dikeluarkan sejumlah rekomendasi.
Antara lain, penataan lahan pada bagian hulu, memperhatikan titik-titik longsor pada lereng Cycloops, memperhatikan terjadinya bendungan alam, serta mewaspadai dan memantau curah hujan di hulu sungai dan memantau perubahan debit aliran sungai.
Bila perlu, dipasang kamera pemantau (CCTV) dan alat pengingat (sirine) di lembah sungai ke arah hulu, seperti misalnya di RSUD Yowari serta hulu sungai Kemiri. Yang tak kalah penting adalah melibatkan secara aktif pemerintah daerah dan masyarakat dalam memantau gejala gerakan tanah atau longsor serta banjir bandang.
Saran penting lainnya juga melingkupi upaya memelihara kearifan lokal terkait fenomena alam. Doni Monardo meyakini, alam selalu memberi pertanda kepada masyarakat jika akan terjadi sesuatu.
Mantan Danyon Singaraja (1998) menyebut contoh petuah pedanda tua di Bali saat Gunung Agung “batuk-dan-berdahak”. Itulah cara kerja Gunung Agung membuat tanah di Bali menjadi lebih subur.
Semua itu bisa terlaksana karena adanya sense creative leader inovasi dan ketulusan hati para pihak sehingga merasa terhargai. Adanya koki handal yang meracik segala bahan menjadi hidangan yang maknyus.
Adanya composer sekaligus dirigen. Adanya komandan sekaligus panglima lapangan yang terlatih mengeksekusi.
Saatnya para pihak membiarkan keringat meleleh demi kebaikan Sentani. Nanti akan kering sendiri saat melihat hati rakyat sumringah diliputi bahagia.
Harmoni, paduan rampak, hentak serentak akan saling berjabat demi kebaikan bersama, terkhusus rakyat yang kini merana akibat bencana.
Kasus harimau turun ke kota Yogya suatu hari, adalah tanda-tanda alam bahwa Gunung Merapi “memanas”. Pertanda alam yang sudah menjadi kearifan lokal, pada dasarnya ada di sekitar kita.
“Kita harus mengasah kepekaan rasa kita terhadap tanda-tanda alam. Kepekaan itu akan terasah manakala kita menjaga alam. Sebab, saat itulah alam akan menjaga kita,” ujar Doni Monardo.
Egy Massadiah pernah bekerja sebagai wartawan dan pegiat teater