Dahulu, kita mengenal bahasa Dagadu yang diperkenalkan oleh masyarakat Yogyakarta. Bahasa ini bertulangpunggungkan aksara Jawa. Selain bahasa Dagadu, dikenal pula bahasa Walikan. Awal mula bahasa ini digunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bahasa sandi. Contoh bahasa Walikan, misalnya, Malang menjadi Ngalam.
Sementara itu, dari kalangan milenial itu sendiri, lahirlah bahasa Alay. Bahasa ini dibuat dengan konvensi-konvensi tertentu yang dipakai sebagai sarana komunikasi di antara mereka.
Saat ini, tim kampanye Jokowi tampak sedang berusaha me-milenial-kan bahasa Arab Pegon. Bila dilihat dari respon yang ada di Twitter dan media sosial lain terhadap kaos yang dipakai Yenny Wahid, kampanye tersebut bisa dikatakan cukup ampuh menarik perhatian generasi milenial.
Mereka mempertanyakan dan saling mencuitkan makna tulisan Arab Pegon tersebut. Tiruan kaos itu bahkan mulai dijual di lapak-lapak online layaknya kaos grup musik Blackpink atau band populer Korea lain yang menjadi idola generasi masa kini.
Bila dibandingkan dengan kalangan pesantren atau nahdliyin, generasi milenial memang tidak akrab dengan Arab Pegon. Kendati demikian, salah satu karakter milenial adalah menyukai hal baru yang dianggap asyik atau keren di mata mereka.
Tulisan Arab Pegon merupakan hal yang baru bagi mereka. Tak mengherankan jika tulisan pada kaos Yenny Wahid mampu menggugah rasa penasaran generasi ini untuk mencari tahu tentang hal tersebut lebih jauh, sebelum kemudian menjadikannya sebagai model pakaian terbaru.
Sebagaimana disampaikan Ludwig Wittegenstein, bahasa bisa dimaknai sebagai arena permainan. Pada titik inilah Arab Pegon berhasil membetot perhatian kalangan milenial. Sebagai metode kampanye, tulisan ”Tetap Jokowi” dalam huruf Arab Pegon sukses diterima oleh generasi sosial media ini.
Sebagai Pembeda
Apa yang dilakukan oleh tim Yenny Wahid, dengan menggunakan Arab Pegon untuk menunjukkan dukungannya kepada Joko Widodo dalam Pilpres 2019, bisa dibaca sebagai usaha pembeda dengan kubu lawan. Terhadap kalangan Muslim, secara semiotik, mereka hendak menandakan diri sebagai Islam yang berpegang pada ajaran ulama-ulama Nusantara yang sudah diakui kealimannya.
Mereka ingin membedakan diri dari pendukung kubu lawan yang pendukung Muslimnya cenderung mengidentifikasikan diri pada ajaran Islam dari Timur Tengah lewat penggunaan slogan-slogan berbahasa Arab.
Bila merujuk pada karakter Arab Pegon yang mengakui lokalitas, Yenny Wahid ingin menunjukkan bahwa mereka merupakan kelompok yang inklusif. Sebagaimana Arab Pegon yang bisa disesuaikan dengan berbagai macam bahasa daerah, kelompok pendukung Jokowi ingin digambarkan seperti itu pula.
Bahwa mereka tidak hanya berasal dari satu kelompok tertentu, melainkan dari berbagai macam kelompok yang berbeda, baik agama, suku, ras, budaya maupun bahasa yang disatukan oleh wadah kenusantaraan.
Pemanfaatan ragam bahasa dalam kampanye adalah suatu hal yang sah-sah saja. Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan wahana untuk mengikat emosi. Dan, menarik emosi massa demi mendukung suatu pasangan politik jelas merupakan salah satu target kampanye.
Oleh karena itu, dukungan terhadap Jokowi dalam bentuk tulisan berbahasa Arab Pegon bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kreativitas dalam berbahasa.
Lewat tulisan pada kaos Yenny Wahid pula, semoga bahasa Arab Pegon yang sudah jarang dilihat dan dikenal masyarakat bisa hidup dan berkembang kembali secara lebih luas, melampaui dinding-dinding pesantren.
* Endhiq Anang P, Pemerhati bahasa. Alumnus Filsafat UGM