Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat.
TRIBUNNEWS.COM - Bak menghadapi buah simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah yang terjadi dengan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan sistem zonasi, sebagaimana diatur dalam Peratuturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang PPDB Tahun Ajaran 2019/2020.
Faktanya, das sollen (apa yang diharapkan), berbeda dengan das sein (apa yang terjadi). Ketika terjadi ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein maka di situlah timbul persoalan.
Menurut Pasal 16 Permendikbud No. 51/2018, PPDB dilaksanakan melalui jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali.
Sebanyak 90% PPDB diperuntukkan bagi siswa yang masuk lewat jalur zonasi, 5% melalui jalur prestasi, dan 5% melalui jalur perpindahan tugas orang tua/wali.
Baca: Andai Akhirnya Sidang MK Putuskan Prabowo-Sandi Kalah dan Jokowi Menang, Begini Sikap Kuasa Hukum 02
Secara das sollen, PPDB dengan sistem zonasi disebut Mendikbud Muhadjir Effendy akan memeratakan kualitas sekolah di seluruh Indonesia, sehingga kastanisasi pendidikan yang menyebut sekolah favorit dan sekolah tidak favorit akan hilang, lalu terciptalah keadilan.
Nantinya setiap sekolah setelah penerapan sistem zonasi ini akan memiliki standar minimum yang sama, baik dari segi pengajaran maupun fasilitas sekolah.
Dengan penerapan sistem zonasi ini maka kompetisi tidak hanya melibatkan sekolah. Peserta didik pun akan berlomba mengeksplorasi kemampuan mereka agar menjadi yang terbaik di setiap sekolah.
Selain itu, sistem zonasi juga akan menghilangkan praktik lancung pungutan liar (pungli) atau jual-beli bangku sekolah.
Baca: Yusril Beberkan Alasan Pentingnya Mempidanakan Bambang Widjojanto, Salah Satunya soal Tuduhan
Sistem zonasi ini diklaim sudah diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Jerman. Zonasi diklaim sebagai yang terbaik untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional secara radikal.
Lantas, apa yang kemudian terjadi atau das sein? Banyak peserta didik pintar dengan prestasi akademik yang tinggi ternyata tidak dapat diterima di sekolah yang mereka harapkan karena terhalang oleh jarak tempat tinggal yang jauh dari sekolah.
Selain itu, juga terhalang Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Sistem akreditasi memang masih diterapkan di bawah Badan Akreditasi Nasional (BAN) Sekolah/Madrasah.
Ada sekolah berakreditasi A, B, dan C. Ini adalah bentuk favoritisme. Di lapangan, sekolah yang dikatakan favorit sangat khawatir akan menurunkan peringkat atau mutu sekolah ketika 50% siswa yang diterima dari 90% kuota PPDB sistem zonasi adalah siswa yang memiliki kemampuan rendah.