News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilpres 2019

Kenapa Prabowo Langsung Bubarkan Koalisi?

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koalisi Adil Makmur dan BPN Prabowo Sandi dibubarkan

Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

TRIBUNNERS - Pasca putusan MK, Prabowo langsung membubarkan koalisi. Terkesan mendadak. Publik kaget, kenapa secepat itu.

Langkah Prabowo ini secara moral menunjukkan sikap pragmatis. Betapa koalisi itu memang sengaja dibuat hanya untuk kebutuhan jangka pendek yaitu pilpres. Pilpres selesai, bubar.

Ada kesan kuat bahwa koalisi dibentuk sekedar untuk meraih kekuasaan. Kalau berhasil, bagi-bagi kursi. Gak berhasil, koalisi bubar. Padahal, kekuasaan bukan satu-satunya sarana untuk berbuat dan berkontribusi kepada bangsa dan negara.

Membubarkan koalisi bisa menimbulkan dua pemahaman. Pertama, kekuasaan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bisa mengabdi kepada bangsa dan negara. Gak dapat kekuasaan, ya bubar. Untuk apa berkoalisi?

Baca: Sebuah Taman di Korea Selatan Ikut Kena Imbas Perceraian Song Joong Ki dan Song Hye Kyo

Baca: 3 Kode Rahasia yang Tertera pada Boarding Pass

Baca: Resmi Bebas, Vanessa Angel Tetap Ucapkan Terima Kasih kepada Bibi Ardiansyah Meski Sudah Putus

Baca: Selamatkan Anak yang Tersedak, Karyawan Restoran Melompat dari Jendela

Tentu ini pemahaman yang keliru. Partai masih punya puluhan anggotanya di parlemen. Kerja di parlemen tak kalah besar peluangnya untuk mengekspresikan pengabdiannya kepada bangsa dan negara.

Tidak hanya kekuasaan dan parlemen yang bisa jadi tempat untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Dimanapun tempat dan profesi, setiap anak bangsa bisa berbuat untuk bangsa dan negara.

Dan para pahlawan sebelum Indonesia merdeka, mereka tak butuh posisi, jabatan dan kekuasaan untuk mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan.

Kedua, dibubarkannya koalisi karena tak ada kata sepakat. Jalan buntu dan deadlock. Empat partai; Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat tak menemukan satu keputusan: mau jadi oposisi, atau bergabung ke pemerintahan Jokowi.

Demokrat 100 persen ingin bergabung ke Jokowi. Halalbihalal keluarga SBY dan Megawati nampaknya berhasil mengurai ketegangan dua mantan penguasa itu selama lima belas tahun terakhir.

Babak baru SBY-Mega atau Demokrat-PDIP akan dimulai. AHY-Puan, atau Puan-AHY nampaknya sedang direkonsiliasikan untuk menuju pilpres 2024. Atau takdir berkata sebaliknya: 2004 terulang. Saat dimana Megawati dipecundangi anak macan yang dipeliharanya sendiri yaitu SBY.

PAN kabarnya juga 100 persen ingin bergabung ke istana. Bara Hasibuan, wakil ketua PAN yang secara konsisten bermanuver ternyata berhasil memaksa Prabowo membubarkan koalisi.

Tokoh peranakan Batak ini layak disebut sebagai striker partai. Apakah bola yang ditendang Bara Hasibuan ini bisa masuk ke gawang istana?

Kabarnya, proposal PAN belum sepenuhnya bisa diterima oleh istana. Ada penolakan yang cukup kuat dari sejumlah pihak yang berada di lingkaran istana. Apakah itu PDIP, PKB dan Nasdem? Mungkin saja!

Mereka tak ingin jatah kursi di kabinet dan pimpinan parlemen berkurang. Kursi kereta sudah penuh, jangan ikut naik! Begitulah kira-kira. Dan PAN tak putus asa. Masih terus memperbaiki proposalnya.

Bagaiman dengan PKS? Sampai detik ini, PKS konsisten. Menang jadi penguasa, kalau kalah ya jadi oposisi. Inilah prinsip yang selama ini dianut PKS. Ini baik jika jadi pedoman semua partai.

Sebab, pemerintah butuh sparing partner. Oposisi akan berfungsi sebagai check and balance. Salah satu fungsi parlemen yaitu controlling akan jalan jika ada partai oposisi.

Tanpa oposisi, negara berpotensi melahirkan pertama, penguasa yang totaliter dan otoriter. Kedua, munculnya parlemen jalanan. Ini terjadi ketika aspirasi rakyat tak lagi ada yang memperjuangkannya.

Jalannya fungsi control DPR inilah yang membedakan antara Orde Baru dengan Orde Reformasi. Jangan sampai lagu Iwan Fals berjudul "Wakil Rakyat" terulang. Tapi sayangnya, Iwan Fals sekarang sudah sangat jinak sama penguasa. Hehe

PKS, sebagaimana juga PDIP, punya sportifitas. DNA-nya DNA pejuang. Siap jadi penguasa, sekaligus siap juga jadi oposisi.

Mungkin beda dengan Golkar, PAN dan PPP. Nampaknya lebih siap jadi penguasa dari pada jadi oposisi. Memang, puasa itu membuat badan jadi lemes. Bagi PKS dan PDIP, puasa justru membuat semangat dan energi bertambah.

Gerindra sendiri? Apakah mau jadi oposisi, atau memilih Ikut menikmati kue kekuasaan? Desakan internal partai nampaknya cukup mempengaruhi kecenderungan Prabowo untuk bergabung ke istana. Apalagi, selama jadi oposisi, bisnis mantan Danjen Kopassus ini banyak gangguan.

Jika memilih bergabung ke istana, Gerindra akan menghadapi dua masalah. Pertama, persekutuannya dengan PKS akan berakhir.

Belum tentu kedepan, Gerindra akan dapat partner se-setia dan se-mengalah PKS. PKS adalah satu-satunya partai yang selama ini terbukti jadi teman sejati Gerindra. Ini tentu saja akan mempengaruhi langkah politik Gerindra di parlemen, di pilkada maupun di pilpres kedepan.

Kedua, Gerindra, akan berhadapan dengan konstituennya sendiri. Terutama kelompok Islam yang selama ini sangat militan dalam memberikan dukungan kepada Prabowo.

Mereka hampir bisa dipastikan akan berbalik arah dan menjadi penyerang militan terhadap Prabowo dan Gerindra. Ingat nasib PBB? Dianggap penghianat, tak lama kemudian nyungsep. Demokrat? Suaranya turun bebas di pemilu 2019. Hanya tujuh persenan.

Pilihan bergabung ke istana, empat kursi kabinet mungkin akan didapat. Bahkan juga kursi ketua MPR. Tapi, Gerindra akan terancam elektabilitasnya untuk lima tahun yang akan datang.

Belajar dari PDIP, sepuluh tahun menjadi oposisi, hingga hari ini tetap memimpin perolehan suara. Jejak ini nampaknya akan diikuti oleh PKS.

Apa keputusan Gerindra? Kita tunggu saja. Apakah rintihan elit di internal partai lebih kuat suaranya di telinga Prabowo, atau logika jangka panjang yang lebih berpengaruh.

Apapun yang nanti akan diputuskan oleh Prabowo, langkahnya membubarkan koalisi telah membuat marah para pendukung. Sebagian diantara mereka bertanya: mana komitmenmu "mau timbul tenggelam sama rakyat?" Mana buktinya "surat wasiat" yang akan engkau buat? Mana nyalimu ketika engkau mengatakan "point of no return"?

Apalagi pasca pengumuman KPU 21 Mei lalu, Prabowo nyaris tak lagi melibatkan para tokoh, ulama dan pimpinan ormas yang selama ini all out mendukungnya.

Padahal, inilah situasi yang tepat untuk merapikan dan memperkuat barisan. Dan ini akan sangat berguna untuk mengumpulkan amunisi jangka panjang.

Jika Prabowo sedikit cerdas dan cerdik, mestinya dia tak perlu menggunakan kata "membubarkan." Cukup dia bilang: "kami konsisten dengan sikap kami, bahwa koalisi Prabowo-Sandi berada dalam posisi sebagai oposisi hingga hari ini. Keputusan finalnya, kami akan bicarakan dengan semua pihak, terutama para pendukung kami. Jika ada anggota partai koalisi yang mau keluar, silahkan saja. Kami tak berhak menghalangi." Ah, mosok harus diajarin sih...

Masalahnya, Gerinda sendiri sedang berada di persimpangan antara oposisi, atau gabung ke koalisi Jokowi. Ini dia!!

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini