Tetapi secara umum, ia melihat radikalisme dan terorisme di Indonesia melegitimasi terhadap agama. Padahal potensi radikalisme ada di enam agama Indonesia
Salah satu ciri yang mudah diketahui adalah pakaian dan perilaku. Ketika mereka perilaku atau riwayat belajar agama, kemudian biasanya pakaian mereka menunjukkan afiliasi kepada kelomopk agama tertentu.
Diakui Maria Advianti, perlu ada pemahaman terhadap masyarakat agar mereka lebih waspada, biasanya mereka tinggal di kampung, kontrakan, perumahan di pinggiran dan tidak pemanen. Hal ini harus diwaspadai, ini peran keluarga dan masyarakat untuk mengenali orang di sekeliling mereka.
Selain itu, keluaga atau lebih khusus orang tua, jangan cuek dengan aktivitas anak seperti saat mengaji atau sekolah. Artinya, orang tua harus selalu cek dan balance dengan pelajaran yang didapat anaknya.
Pasalnya radikalisme bisa disusupkan melalui lagu, kisah, soal pelajaran seperti jihad, benci kepada orang lain, dan lain-lain.
Tidak ketinggalan, Maria juga mengajak semua pihak mewaspadai medsos. Menurutnya, medsos jadi salah satu alat penyebaran paham radikal yang sangat luar biasa.
Anak-anak ketika mendapat informasi radikalisme, biasanya pertama penasaran, bukan takut. Justru para teroris ini memanfaatkan rasa penasaran anak-anak sehingga menggiring mereka untuk mengakses informasi yang sudah dirancang melalui medsos dijelaskan Maria Advianti lagi.
Karena itu, orang tua diminta jangan gaptek terhadap medsos tetapi harus ikut aktif. Meski tidak secanggih sang anak, minimal dengan aktif bermedsos, komunikasi dan pengawasan orang tua terhadap anak bisa lebih baik.