News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilkada Serentak

Menimbang Gibran, Bobby, dan Kaesang

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, Kaesang Pangareb dan Presiden Jokowi

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Salahkah menggunakan “aji mumpung” dalam berpolitik? Tidak!

Sebab, politik adalah seni memanfaatkan momentum. Siapa cepat, dia dapat. Yang salah adalah jika “aji mumpung” itu digunakan dengan menyalahi aturan.

Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep masuk dalam bursa calon walikota Surakarta, Jawa Tengah.

Pun, Bobby Nasution masuk dalam bursa calon walikota Medan, Sumatera Utara.

Gibran dan Kaesang adalah putra sulung dan putra bungsu Presiden Joko Widodo, sedangkan Bobby adalah menantu Jokowi karena ia suami dari Kahiyang Ayu, putri tunggal Jokowi yang berada di tengah antara Gibran dan Kaesang, sehingga dalam istilah Jawa disebut “sendang kapit pancuran”.

Nama Gibran dan Kaesang muncul dalam survei Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Surakarta 2020.

Survei dilakukan di 96 titik lokasi dengan 8 responden di masing-masing titik. Survei menguji tiga kategori, yakni popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas.

Dari kategori popularitas, nama Gibran muncul dengan angka tertinggi, yakni 90%. Dengan angka yang sama muncul nama Achmad Purnomo, Wakil Walikota Surakarta saat ini.

Nama Kaesang muncul di urutan ketiga dengan persentase popularitas 86%. Selain Gibran, Kaesang, dan Achmad Purnomo, tidak ada nama lain yang mendapat angka popularitas signifikan di atas 50%, bahkan Ketua DPRD Kota Surakarta Teguh Prakosa berada di urutan keempat dengan tingkat pengenalan hanya 49%.

Meski unggul dari sisi popularitas, namun Gibran dan Kaesang masih tertinggal dari sisi akseptabilitas dan elektabilitas.

Dari kategori akseptabilitas, Achmad Purnomo menempati peringkat tertinggi dengan persentase 83%, diikuti Gibran dengan persentase 61%, dan Teguh dengan persentase 49%.

Dari segi elektabilitas, Achmad Purnomo juga masih menempati urutan pertama dengan angka 38%, diikuti Gibran 13%, dan Teguh 11%. (Kompas.com, 26 Juli 2019).

Adapun nama Bobby Nasution disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat yang patut diperhitungkan dalam Pilkada Kota Medan 2020. Apalagi Bobby menyandang status sebagai menantu Presiden.

Lalu, bagaimana respons Gibran, Kaesang dan Bobby ketika nama mereka masuk bursa calon walikota? Ketiganya seakan kompak menyampaikan ucapan terima kasih.

Namun untuk benar-benar maju atau tidak, Bobby mengaku akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan keluarga. Artinya, Bobby tak menolak jika dicalonkan menjadi walikota Medan.

Sedangkan Gibran, dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Senin (29/7/2019) malam, menyatakan, seorang pengusaha bisa dengan mudah menjadi politisi, tapi seorang politisi belum tentu bisa menjadi pengusaha.

Artinya, Gibran pun tidak menolak jika ada yang mencalonkan dirinya sebagai walikota Surakarta. Selama ini Gibran, Kaesang dan Bobby memang lebih dikenal sebagai pengusaha.

Adapun Presiden Jokowi mempersilakan anak-anaknya bila mau terjun ke dunia politik, karena ketika anak-anaknya memilih menjadi pengusaha, Jokowi pun tak pernah memaksa atau melarang. Sebagai orang tua, Jokowi mengaku akan mendukung langkah yang diambil anak-anaknya.

Akankah Jokowi menggunakan “aji mumpung” dengan merestui pencalonan Gibran atau Kaesang dan Bobby, dan mumpung (senyampang) masih berkuasa lalu ia gunakan kekuasaannya itu untuk mengondisikan agar Gibran atau Kaesang dan Bobby terpilih?

Kita tidak tahu. Yang jelas, jika Jokowi tetap ingin menjadi politisi unik yang berbeda dengan politisi-politisi lainnya yang cenderung membangun dinasti politik, dengan menerjunkan anak-anaknya ke dunia politik sebagaimana Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Ratu Atut Chosiyah dan lain-lain, tentunya ia akan berpikir seribu kali sebelum membiarkan anak-anaknya terjun ke dunia politik.

Apalagi jika Gibran atau Kaesang dan Bobby maju dan kemudian kalah, maka akan mempermalukan atau sekurang-kurangnya menurunkan marwah Jokowi sebagai Presiden.

Di basis PDIP dan pendukung Jokowi seperti Surakarta, mungkin Gibran atau Kaesang akan menang. Tapi di Medan, apakah Bobby akan menang, meskipun ia berasal dari Sumut? Katakanlah menang, tapi siapkah Jokowi dicap sebagai politisi yang hendak membangun dinasti?

Masih lekat dalam ingatan kita ketika Kahiyang Ayu tidak lolos seleksi calon Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Surakarta. Sedikit atau banyak, hal itu berpengaruh terhadap track recordsatau rekam jejak keluarga Jokowi.

Atau Kahiyang memang “sengaja” tidak diloloskan demi pencitraan politik Jokowi? Tidak lolosnya Kahiyang membuktikan bahwa Jokowi sebagai Presiden terbukti tak pernah melakukan intervensi terhadap instansi mana pun dalam penerimaan pegawai. Jangankan untuk orang lain, untuk putrinya sendiri saja Jokowi tak mau melakukan intervensi. Mungkin demikianlah citra yang terbangun.

Popularitas juga tidak selalu paralel dan sebangun dengan elektabilitas. Buktinya Rhoma Irama. Siapa warga Indonesia yang tak mengenal Raja Dangdut ini? Namun, ketika bos Soneta Group itu terjun ke dunia politik, bukannya untung malah buntung. Rhoma sering gagal melaju ke Senayan.

Mungkin ada baiknya jika Presiden Jokowi mempertimbangkan “saran” Raden Ngabehi Ranggawarsita (14 Maret 1802–24 Desember 1873, pujangga dari Kasunanan Surakarta) dalam Serat Sabdatama pupuh Gambuh bait ke empat dan lima berikut ini:

Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung anggoroh

Ilang budayanipun
Tanpa bayu weyane ngalumpuk
Sakciptane wardaya ambebayani
Ubayane nora payu
Kari ketaman pakewoh

Artinya, seperti dikutip dari sebuah sumber, kurang lebih:

Lain dengan yang aji mumpung
Hilang kewaspadaan, masalah selalu bersamanya
Mengikuti terus dari belakang
Hati amat bernafsu, ruwet, tidak tenteram

Tidak setia menyembunyikan dusta
Hilang tata susilanya
Lemah dan amat sembrono

Apa yang dipikirkan berbahaya
Janjinya tidak dipercaya
Akhirnya akan mendapat masalah

Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini