Demokrasi Gotong Royong Ala Indonesia
Oleh: Dr Osbin Samosir, M.Si
(Pengajar Ilmu Politik FISIPOL Universitas Kristen Indonesia, Cawang-Jakarta)
„Gotong-rojong” adalah faham jang dinamis, lebih dinamis dari „kekeluargaan”, saudara-saudara! …”
=== Sukarno dalam Rapat BPUPKI 1 Juni 1945 ===
Masuknya Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindara) ke dalam kabinet Kerja Indonesia Jilid II membuktikan bahwa postur demokrasi kita bukanlah demokrasi seperti dipahami di Barat dan Amerika sebagai model demokrasi modern saat ini.
Demokrasi Barat dan Amerika merupakan perkembangan dari liberalisme yang tumbuh sejak akhir abad ke -19.
Format demokrasi Indonesia yang digagas oleh Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers) adalah demokrasi Gotong Royong. Bagaimana kedua demokrasi ini bisa dipahami?
Prabowo Subianto telah menyemarakkan peta politik Indonesia sejak Pilpres 2014 dan berlanjut di Pilpres 2019.
Pilpres 2014 dan 2019 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto menguras sangat banyak energi oleh emosionalitas primordial dan isu-isu identitas.
Sisa-sisa pergolakan politik identitas sangat terasa hingga masyarakat paling bawah.
Tidak jarang terjadi keretakan hubungan keluarga, putusnya hubungan persaudaraan dan pertemanan oleh pembelahan isu-isu identitas.
Demokrasi Liberal
Dalam paham sangat sederhana, demokrasi liberal meletakkan pihak yang kalah sebagai oposisi sebagai penyeimbang terhadap semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang berkuasa (the ruling party).
Adam Smith tokoh demokrasi liberalisme klasik mengusung issu "Laissez faire et laissez passer" meletakkan kebebasan setiap individu menentukan pilihannya sebagai yang paling hakiki.
Demokrasi liberal sangat menghormati martabat setiap individu berwenang penuh melaksanakan yang terbaik bagi dirinya sesuai karunia talentanya.
Negara tidak perlu terlalu banyak campur tangan karena individu yang bersangkutan paling paham apa yang perlu untuk dirinya.
Negara cukuplah hanya menjadi penjaga malam saja (night watch state).
Maka persaingan antar individu sangat dianjurkan sehingga yang tersisa adalah individu yang unggul, kuat, sehat sebagai pemenang.
Sehingga setiap kepunahaan si lemah adalah pupuk bagi liberalisme. Dalam urusan bernegara, liberalisme meletakkan pihak yang kalah di kursi oposisi, sampai nanti dalam pemilihan berikutnya rakyat memberi penilaian apakah si oposisi layak menjadi pemenang pemilu untuk duduk di pemerintahan, dan sebaliknya.
Maka kubu oposisi selalu mengkritisi seluruh kebijakan pemerintah dengan menawarkan solusi-solusi alternatif yang dianggap lebih berpihak untuk kepentingan rakyat.
Format demokrasi itulah yang terjadi di seluruh daratan Eropa dan Amerika, misalnya dipraktekkan oleh Partai Demokrat versus Partai Republik di Amerika Serikat, atau Partai Konservatif versus Partai Buruh di Inggirs.
Partai-partai lain melibatkan diri dalam salah satu dari kedua kubu.
Demokrasi Gotong Royong
Walaupun Indonesia menganut prinsip dasar demokrasi dalam system bernegara, namun demokrasi yang dijalankan bukanlah seperti demokrasi modern.
Format demokrasi Liberal Barat dan Amerika sangat tidak cocok dengan fatsun dan tata krama budaya local Indonesia.
Soekarno berujar dalam Sidang BPUPKI, “Kita sudah lihat, dinegara-negara Eropah … adalah parlementaire démocratie. … Tetapi tidakkah di Eropah djustru kaum kapitalis meradjaléla?
Founding Fathers menolak demokrasi liberal, sebagaimana Soekarno mengungkapkan keburukan demokrasi liberal sehingga harus ditolak:
"Wakil kaum buruh jang mempunjai hak politiek itu, di dalam Parlemen dapat mendjatuhkan minister. Ia seperti Radja! Tetapi didalam dia punja tempat bekerdja, didalam paberik, — sekarang ia mendjatuhkan minister, bésok dia dapat dilémpar keluar kedjalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Menurut Founding Fathers, demokrasi yang kita anut adalah demokrasi yang khas Indonesia yang digali dari format dasar musyarwah yang sudah berlangsung selama ribuan tahun di desa-desa di seluruh Indonesia.
Demokrasi yang khas Indonesia itu adalah demokrasi gotong royong yakni tidak ada oposisi.
Indonesia mengutamakan musyawarah untuk menjaga harmoni, memelihara nilai-nilai keakraban dalam kohesi social.
Demokrasi gotong royoang adalah demokrasi kekeluargaan, dimana seluruh warga negara dianggap sebagai satu kesatuan keluarga.
Supomo dalam Sidang BPUPKI 31 Mei 1945 berujar, “Negara bersandar atas kekeluargaan. ... Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan tjorak masjarakat Indonesia.”
Dalam pengertian lebih jauh, demokrasi gotong royong yang khas Indonesia adalah menjalin kebersamaan dengan semua pihak, tidak ada kritik tajam yang sampai melukai sesame anggota keluarga apalagi sampa memecah kerukunan.
Musyawarah digunakan untuk mencari alternative solusi. Focus negara kekeluargaaan adalah merekatkan seluruh anak-anak bangsa sebagai sebuah keluarga, persis seperti keluarga batih di kelurga masing-masing.
Baca: Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas: Ada Menteri Not Right Man In The Right Job, Siapa Saja Mereka?
Demokrasi kekeluargaan itu dipraktekkan oleh Prabowo dengan masuk ke dalam Kabinet Indonesia Kerja jilid-2.
Prabowo mengajarkan bahwa tidak baik memelihara jejak kelam di batin masyarakat akibat Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Baca: Jadi Viral, Dua Pria Gebuki MC Orkes Dangdut di Surabaya Hanya Gara-gara Ini
Apakah Prabowo salah dengan pilihan demokrasi tersebut? Bagi penganut demokrasi modern, sikap Prabowo itu salah.
Tapi Prabowo setia dengan harapan para Founding Fathers bahwa seluruh warga negara adalah sebuah keluarga.
Lalu bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia? Sampai saat ini Indonesia masih mencari sosok demokrasi yang tepat untuk dirinya, karena memang Indonesia tidak tidak memiliki sejarah dan tradisi demokrasi. *