TRIBUNNEWS.COM - "Secangkir Kopi Karo Harganya Harus Setara Dengan Segelas Wine Perancis".
Kalimat itu meloncat spontan dari bibir Kepala BNPB Doni Monardo saat berkunjung ke Tanah Karo, Sumatera Utara, 18 Oktober 2019 lalu.
Agenda resminya adalah meletakkan batu pertama pembangunan hunian tetap relokasi Tatap III di Siosar, Kabupaten Karo akibat erupsi Gunung Sinabung.
Di situ, hadir Gubernur Sumatera Utara Letjen TNI (Pur) Edy Rahmayadi, serta para pejabat daerah dan tokoh masyarakat lain. Edy adalah sohib satu angkatan Doni sama sama AKABRI lulusan 85.
Menginjakkan kaki di tanah Karo, Doni yang getol dengan program emas hijau langsung melirik ihwal potensi kopi Karo yang kesohor.
“Mari kita tingkatkan kualitas pertanian kita dengan melakukan berbagai macam inovasi. Dengan kopi saya yakin masyarakat bisa keluar dari kesulitan mata pencaharian,” ujar Doni pada sambutannya.
Baca: Gempa Bumi di Ambon : Kepala BNPB Kunjungi Lokasi Terdampak, Jokowi Pastikan Korban Dapat Santunan
Ia juga mengajak warga menanam tanaman yang berfungsi ekologis dan juga ekonomis, tentunya akan menjaga alam dan menyejahterakan masyarakat.
Tak lupa ia menyarankan agar masyarakat menanam buah-buahan tanpa menggunakan pestisida karena harga jualnya bisa lebih tinggi.
“Buat ternak lebah, madu yang betul betul (bersumber dari alam) zero pestisida, tidak ada bahan kimia. Makanan atau buah-buahan atau produk-produk pangan yang tidak mengandung pestisida tentu harganya jauh lebih mahal dibandingkan harga lain yang mengandung bahan kimia,” tambahnya.
Di sela-sela pidato, panitia menyajikan segelas kopi di depan podium tempat ia berpidato. Tak pelak, penggemar kopi itu berhenti berbicara, dan memusatkan perhatian ke arah segelas kopi di hadapannya.
Sejenak ia menyeruput kopi Karo. Matanya terbelalak, ekspresinya sumringah. Ia segera mendekati mic dan spontan berkomentar, “Kopi Karo luar biasa. Setara dengan wine Perancis. Pak Gubernur, ini benar-benar luar biasa. Ke depan kita harus bisa menjadikan segelas kopi Karo setara harganya dengan segelas wine Perancis,” kata Doni disambut tepuk tangan gemuruh dari hadirin.
Doni layak berbicara begitu. Bagi siapa pun yang mengenal Doni dengan program emas hijaunya, tentu tidak akan menyangsikan apa yang dikatakaan Doni: Segelas kopi Karo sama harganya dengan segelas anggur Perancis.
Demi mengetahui potensi itulah, maka Doni memanfaatkan acara tersebut untuk secara langsung mewujudkan harapannya. Doni datang membawa dan menyerahkan alat penggiling kopi guna membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Serupa Doni lakukan dengan para petani kopi di Puntang, hulu Citarum, Jawa Barat. Maka, perhatian Doni kali ini tertuju ke Kopi Karo.
Ia tahu betul, Karo adalah salah satu suku di Sumatra Utara yang mendiami dataran tinggi. Karenanya, di sana berkembang dengan sangat baik varietas kopi arabica unggulan.
Tanaman kopi jenis ini, tumbuh pada ketinggian 500 s/d 2000 mdpl dengan suhu rata-rata 21-24O C dengan curah hujan 2000 – 3000 mm, dan didukung struktur tanah yang baik dengan kandungan bahan organik 3% serta Ph 5,5 – 6,5.
Saat ini, tanaman kopi tersebar di seantero Karo. Antara lain di seluruh Kecamatan.
Perkebunan kopi paling luas terdapat di Kecamatan Merek, Tiga Panah, Simpang Empat, Payung, dan Munthe.
Saat ini Kecamatan Merek dikenal sebagai sentra produksi kopi, karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan tanaman kopi dengan luas mencapai 1.500 hektare.
Berbicara tentang kopi khas Tanah Karo, kopi ini sudah terkenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Utara. Pada zaman penjajahan Belanda kopi Karo sudah dibawa ke Eropa untuk diperdagangkan.
Kopi Karo mempunyai rasa unik dibandingkan kopi pada arabika umumnya. Cita rasa kopi Karo memenuhi standar selera kopi dunia.
Hal menarik yang bisa kita temukan di kopi ini ialah bahwa kopi Karo mempunyai rasa buah, seperti anggur dan jeruk. Itulah kenapa, Doni spontan mengatakan, suatu saat segelas kopi Karo harus seharga segela wine Perancis.
Pengolahan yang digunakan memproduksi kopi khas Karo ialah teknik washed process atau dikenal dengan teknik penggilingan basah. Biji kopi yang sudah dipanen kemudian direndam air dan biji kopi akan dipilih berdasarkan kualitasnya.
Mana yang berkualitas dan tidak akan dipisahkan sehingga hanya biji kopi berkualitas yang dipilih.
Untuk mengetahui kopi tersebut berkualitas atau tidak, cukup mudah. Cemplungkan di air, jika mengambang tanda tidak berkualitas.
Di Karo, hanya biji kopi yang tenggelam saja yang diproses.
Setelah melalui proses rendaman air, proses selanjutnya ialah memisahkan kulit biji kopi dengan daging biji kopi menggunakan mesin pengelupasan biji kopi. Setelah itu, biji kopi diproses lebih lanjut hingga proses fermentasi.
Tidak heran jika Doni Monardo pun begitu terkesan dengan cita rasa kopi Karo yang nikmat. Unik pula rasanya.
Membahas diplomasi kopi memang tak bertepi. Saya teringat, April 2013 lalu saat menemani Ketua Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla sarapan pagi di Restoran Gorkem Kilis Sofras, yang berada di tepi Laut Marmara, Turki.
Pemilik restoran, Sadettin Ulubay, yang merupakan salah satu konglomerat di Istanbul, memperkenalkan cita rasa kopi Turki nya yang terkenal.
"Sebagai hidangan penutup, kami sajikan Turkish Coffea, yang kalau diminum cita rasanya akan bapak kenang selama 40 tahun," kata Ulubay sambil mengangkat sloki kopinya.
JK kemudian menyambut dengan mengatakan, *"Kami juga di Indonesia memiliki macam macam kopi yang terkenal, antara lain kopi luwak.
Bedanya kalau kopi Turki bisa memberi kenangan selama 40 tahun, kopi kami di Indonesia cukup anda kenang satu tahun saja. Karena itu, Anda harus datang ke Indonesia setiap tahun agar kenangan Anda tentang Indonesia tidak hilang," kata JK disambut gelak.
Egy Massadiah