Penulis: Eva Nila Sari (Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
SUMPAH PEMUDA dirumuskan melalui sebuah putusan Kongres Pemuda (kedua) di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928 lalu, merupakan ikrar kebangsaan dari kelompok pemuda Indonesia kala itu yang berasal dari berbagai latar belakang daerah, suku, dan agama, yang menyatukan keyakinan mereka bahwa tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan yang mereka yakini adalah Indonesia.
Keyakinan ke-Indonesiaan ini diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya yaitu kemauan sejarah, bahasa, hukum, adat, pendidikan dan kepanduan.
Tak terbantahkan, bahwa komitmen kebangsaan ini mengandung makna agar pemuda-pemudi Indonesia senantiasa mencintai tanah air Indonesia, menjaga dan merawat persatuan sebagai sebuah bangsa, serta menjunjung penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
96 tahun telah berlalu. Apakah rasa kebangsaan tersebut masih menjiwai semangat dari jiwa-jiwa muda saat ini? Ataukah telah bergeser atau dimanivestasikan dalam bentuk lain seiring kompleknya problematika dan dinamika kekinian? Atau kondisi memang terasa sulit bagi mereka sehingga kontribusi kebangsaanpun terancam melemah?
Kelompok Muda di Indonesia identik dengan kelompok Kelas Menengah karena Kelas Menengah di Indonesia didominasi oleh kalangan penduduk usia produktif, mulai dari Gen X, Milenial, hingga Gen Z.
Data ekonomi yang akan diuraikan lebih lanjut menunjukkan bahwa kelas ini tidak dapat menghindari kondisi himpitan ekonomi yang semakin menjerat. Sayangnya, tidak berhenti hanya di sini, himpitan atas Kelas Menengah masih harus ditambah dengan desakan kebijakan (Pemerintahan Jokowi).
Sebut saja biaya-biaya (baca: pajak, iuran wajib, dan pengetatan subsidi) yang semakin intens. PPN naik 12 persen, bangun rumah sendiri kena pajak 2,4% tahun 2025, iuran BPJS yang akan mengalami kenaikan, harga BBM dan LPJ 3 kg yang akan dinaikkan, terhitung sejak 2025 UMKM tidak lagi bisa menggunakan tarif PPh final 0,5% (1 juta UMKM), Januari 2025 motor dan mobil wajib asuransi, gaji pekerja dipotong lagi untuk program pensiun baru, kenaikan harga eceran beras (2024) paling tinggi sejak 2011 (inflasi 20% year on year), dan wajib potong Tapera 3% untuk gaji pekerja di atas UMR.
Apabila kondisi ini terus berlangsung atau bahkan bertambah, tak terbantahkan, Kelas Menengah tengah dimiskinkan karena menanggung biaya lebih besar ketimbang kelas atas bahkan kelas bawah sekalipun.
Apakah ekonomi Indonesia baik-baik saja?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen (month to month/mtm) secara bulanan pada September 2024. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024. Kondisi ini terjadi karena ada penurunan harga-harga komoditas yang bergejolak.
Ia menyebut deflasi September 2024 menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir sepanjang kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terkait hal ini, para Menteri Kabinet Jokowi mempunyai penilaian beragam. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menilai deflasi merugikan petani dan pedagang yang tidak dapat menikmati harga jual secara optimal.
Menteri Peridustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ketidaknyamanannya atas deflasi dan menyalahkan membludagnya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia yang memicu terjadinya deflasi. Lama kelamaan, kondisi ini, katanya, akan memicu inflasi atas produk-produk lokal.