Pak Menag, Ingatlah Tan Hana Dharma Mangrwa!
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.*
Bukan hendak mengajari Bapak Menteri Agama yang baru tentang Pilar Kebangsaan kita. Tetapi, memahami Bhinneka Tunggal Ika tidaklah cukup bila tanpa kalimat penyambungnya: tan hana dharma mangrwa (tidak ada kebaikan yang mendua). Memang benar mengatasi radikalisme itu penting, tetapi tidak dengan cara yang sama radikalnya.
Belakangan viral Menteri Agama Jenderal TNI (Punr) Fachrul Razi berbicara soal celana cingkrang, larangan bercadar, khilafah, dan yang unik mulai memikirkan melakukan penataran ustad-ustad. Bagi beliau, aspek-aspek teknik ini dipikir sebagai perkara esensial dan substansial dalam penanganan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Simplifikasi persoalan tidak akan menyelesaikan masalah. Misalnya, tidak semua orang yang bercadar dan memakai celana cingkrang berafiliasi dengan radikalisme. Begitu pun, orang-orang yang mendukung khilafah bisa saja tidak memakai celana cingkrang, cadar, sorban, dan identitas-identitas formalistik lainnya. Memahami radikalisme harus lebih dalam lagi.
Selain itu, latar belakang intelektual dan karier bapak menteri yang militeristik tidak cukup digunakan sebagai pendekatan dalam memerangi radikalisme. Tidak perlu jauh kita ambil contoh, lihatlah cara Amerika dan negara-negara Barat yang militeristik itu.
Atas nama perang terhadap terorisme-radikalisme Islam, sejak era George W. Bush hingga Donald Trump, Amerika menjadi biang utama perang bersenjata.
Dengan latar belakang sebagai purnawirawan TNI, bapak Menag sangat berkuasa untuk mengikuti jejak langkah Amerika yang militeristik dalam menangani radikalisme di Indonesia.
Tinggal ucapkan sepatah dua patah kata, militer akan angkat senjata untuk memberondongkan peluru kepada pihak-pihak yang dicap radikal. Tetapi, apakah begitu cara hidup kita yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika? Lantas, apa makna Tan Hana Dharma Mangrwa?
Islam rahmatan lil alamin yang diperjuangkan oleh PBNU atau Islam Berkebudayaan dari KH. Prof. Dr. Kiai Said Aqil Siradj, misalnya, adalah pendekatan Islam yang tawasut, tawazun, tasamuh, dan i’tidal.
Radikalisme memang musuh bersama bangsa dan negara kita. Tetapi, pendekatan militeristik bukan satu-satunya pilihan. Terlebih lagi, Pilpres ‘berdarah’ baru saja usai. Tidak perlu kita memperuncing permusuhan lagi antar sesama putra bangsa.
Ketua Umum GP Anshar, Gus Yaqut Cholil Qoumas, ada benarnya. Pemerintah selayaknya duduk bersama untuk memikirkan teknik-teknik substansial dalam memerangi radikalisme.
Ideologi radikal bukan perkara performa yang artifisial. Artinya, jangan menilai orang lain radikal hanya dari cara berpakaian atau penampilan luarnya. Bukankah sudah ada pepatah: don’t judge a book by it’s cover?!
Secara kekuasaan, Menag memang bisa dibilang otoritatif dalam melakukan apa saja. Bahkan untuk tidak minta restu dari siapapun selain presiden pun sah-sah saja.