News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pak Menag, Ingatlah Tan Hana Dharma Mangrwa!

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menag Fachrul Razi: PNS yang Ngotot Pakai Celana Cingkrang, Keluar Saja: Bantah Larang Cadar.

Tetapi, bukankah kita sudah diwarisi pegangan nilai-nilai kebijaksanaan oleh para Walisongo, termasuk melalui tembang-tembang yang popular di kalangan milenial kita? Misalnya, tombo ati iku limo perkarane... kaping telu wong kang soleh kumpulnono (obat hati itu ada lima, nomor tiga adalah berkumpul dengan orang-orang soleh).

Perangkat kebangsaan kita sudah lengkap. Di sana ada Majelis Ulama Indonesia, di sana ada Rabithah Ma’ahid Islamiyah, serta ada banyak ormas-ormas Islam lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Dalam rangka membabat habis radikalisme, mengapa orang-orang soleh semacam mereka itu tidak diajak duduk bersama, berkolaborasi dan bekerjasama untuk bareng-bareng memikirkan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara secara bersama-sama?

Tidak melibatkan para ulama dan ormas Islam dalam memberantas isu radikalisme, maka radikalisme tidak akan menjadi musuh bersama melainkan akan menjadi musuh pemerintah saja.

Siapapun yang tidak sejalan dengan pemerintah, pada akhirnya, akan dianggap musuh. Hal itu sudah kita alami di masa lampau, termasuk di era Orde Baru. Kementerian Agama bukan milik golongan militer, tetapi milik seluruh umat dan rakyat Indonesia.

Karena itulah, Empu Prapanca dalam mengarang Kakawin Nagarakretagama tidak mencukupkan diri menulis Bhinneka Tunggal Ika. Beliau melanjutkan kalimatnya dengan: tan hana dharma mangrwa.

Artinya, dalam memerangi radikalisme tidak harus secara radikal-militeristik tetapi tetap dengan jalan yang santun, lembut, tawasut, tawazun, dan i’tidal. Jangan terjebak pada perkara-perkara penampilan yang artifisial melainkan harus lebih mendalam dan substansial.

Bhinneka Tunggal Ika itu adalah aspek lahiriah, di mana manusia memang niscaya berbeda, baik secara ideologi, ormas, agama dan keyakinan. Tetapi, di balik persatuan berbasis keragaman itu tersimpan adanya filosofi tan hana dharma mangrwa.

Inilah aspek esoterik-batiniah dari Bhineka Tunggal Ika. Jika aspek batiniah ini tidak tercapai maka perbedaan bukan terasa sebagai rahmat melainkan serasa laknat.

Jika Bapak Menteri Agama ingin “mengusir keluar” pihak yang dianggap berbeda, lantas apa bedanya dengan kaum radikal itu sendiri yang ingin mengusir orang yang berbeda dari golongannya?

Kita bisa dibilang cukup mampu hidup dengan Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi, memasuki tahap berikutnya, Tan Hana Dharma Mangrwa, merupakan proses seumur hidup yang begitu panjang.

Bersatu padu dalam keragaman masih belum cukup jika tidak disertai dengan ketulusan, kelapangan dada dan keridhaan hati untuk hidup berbeda. Apalagi sampai jatuh ke lubang nista, di mana perbedaan dan keragaman dirasa sebagai ancaman. Jika itu terjadi, sungguh jauh kita dari ajaran leluhur: tan hana dharma mangrwa!

 *Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini