Padahal statistik sudah membuktikan, biasanya Vietnan lebih banyak membobol gawang lawan antara menit 60 sampai menit 80.
Indonesia tidak mengantisipasi itu.
Tak pelak lagi hasilnya pada pertandingan pertama Indonesia keok 2-1, setelah lebih dulu unggul 1-0.
Pada pertemuan kedua di final kesalahannya lebih fatal.
Ketika pemain Indonesia menguasai bola, para pemain tidak diinstruksikan untuk dekat dengan pemain yang menguasai bola dan pemain lain mencari posisi agar dapat dioper.
Tetapi jika ada pemain Indonesia yang menguasai bola, para pemain Indoensia lainnya hanya berjalan atau bahkan berdiam diri, sehingga sulit bagi pemain yang menguasai bola untuk mengoper kepada siapa.
Demikian juga “kutak-katik” operan bola di lini belakang tidak dirancang untuk membuka ruang kesebelasan lawan.
Operan-operan yang pada pertandingan lawan non Vietnam berhasil, pada pertandingan lawan Vietnam sudah diantisipasi benar oleh Vietnam.
Begitu pemain Indonesia menguasai bola, mereka langsung dipresing beberapa orang, atau operannya “dipotong” sehingga sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Vietnam.
Ada satu dua peluang emas, sebenarnya, tapi penyelesaian akhir pemain kita malan itu buruk.
Vietnam dapat dengan mujarab memakai obat yang dipakaikan dengan tidak terlalu sulit lantaran cara pemain Indonesia mengoper bola sudah mudah ditebak.
Bola mau dialirkan kemana oleh pemain Indonesia sangat terbaca. Pemain Indonesia pun akhirnya seperti kehilangan akal.
Cenderung di Belakang Peman Lawan
Pemain belakang Indonesia juga tidak mengawal dengan mendahului pemain lawan, tetapi cenderung berada di belakang pemain depan Vietnam, terutama di area pinalti.
Akibatnya, pemain Vietnam leluasa mengobrak-abrik pertahanan Indonesia.
Pemain lawan leluasa menerima umpan dari temannya dan punya ruang besar menjebloskan si kulit bundar ke gawang Indonesia.