Padahal sudah jelas dua hal: Vietnam pasti telah mengantisipasi cara dan strategi bermain para pemain Indonesia, dan mereka sudah menyiapkan obatnya.
Dalam hal ini Indra Safri lupa, resep sukses melawan sebuah atau beberapa kesebelasan belum tentu cocok menghadapi semu lawan, terutama lawan yang sudah “membaca” kita.
Vietnam sudah “membaca” Indonesia akan menerapkan strategi defensif, bertahan, lalu melakukan umpan terobosan dan dengan kecepatan para pemain depan kita menyelusup dari celah pertahanan lawan.
Vietnam dengan senang hati “sudah menunggu” hal itu. Mereka sudah mengantisipasi cara dan strategi itu. Mereka sudah punya kartu itu.
Untuk menghadapi strategi permainan seperti itu, Vietnam sudah mempunyai obatnya.
Begitu serangan mereka gagal, para pemain mereka harus secepatnya turun lagi ke bawah.
Kunci berikutnya mereka bertahan secara berlapis sehingga sulit kecolongan dengan kecepatan para pemain Indonesia.
Vietnam pun sudah katam membaca cara pemain Indonesia memainkan bola di area pertahanan sendiri.
Sebenarnya memainkan bola dengan tenang di belakang untuk memancing pemain Vietnam nafsu ke depan. Tapi upaya itu kandas karena Vietnam sudah menyiapkan obatnya.
Mereka menerapkan prinsip: penyerangan terbaik adalah pertahanan terbaik. Ketika para pemain Vietnam maju ke depan mereka sekaligus melakukan pertahanan.
Bukan satu lawan satu, tetapi satu pemain belakang Indonesia dikepung dua tiga lawan sekaligus.
Akibatnya, justru para pemain bertahan Indonesia yang kewalahan sendiri. Mekanisme pertahanan Indonesia jadi bumerang yang mengancam pertahanan sendiri.
Kesalahan Lebih Fatal
Kesalahan kedua yang sudah “dipelajari” Vietnam, pemain Indonesia membiarkan para pemain lawan, dalam hal ini Vietnam, bukan hanya bebas berkeliaran di pertahanan Indonesia, tapi juga bebas membawa dan menendang bola ke arah pertahanan dan gawang Indonesia.
Hal ini terutama terjadi pada babak kedua baik pada pertandingan pertama maupun di pertandingan final.