Manhaj Islam Wasathi : dari Al-Azhar hingga Nusantara
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Hubungan Islam Nusantara dan Al-Azhar sangat panjang. Selain termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Komjen Pol (P) Nurfaizi Suwandi, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Arab Mesir, mengatakan bahwa Mesir adalah Ummu Dunya, ibu kandung dunia, yang telah banyak mengkader cendekia dan tokoh ulama Indonesia (Marzuq, Kota Sejuta Kisah, 2015: vii).
Indonesia di mata Mesir sangat istimewa. Presiden Ir. Soekarno dianggap sebagai sahabat terbaik Gamal Abdel Nasser, berjuang bersama-sama melawan penjajahan di negara-negara Asia dan Afrika, bahkan di Kota Giza ada Jalan Soekarno, di Kota Ismailia ada Kebun Mangga Soekarno, dan peci hitam pasti diasosiasikan dengan Kopiah Soekarno (Satari, Egyptology, 2013).
Pengaruh intelektualisme Mesir pun diapresiasi di Indonesia. Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari (Muassis Nahdlatul Ulama) setuju pada beberapa poin pemikiran Muhammad Abduh; seperti rasionalitas penafsiran Abduh, dorongan Abduh untuk meningkatkan semangat umat muslim. Namun, pada beberapa poin lain, Mbah Hasyim menolak Abduh; seperti penolakan Abduh atas ulama tradisionalis, pembebasan umat dari tradisi bermazhab (Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama, 2000: 32).
Lebih tua lagi, sejarah mencatat bagaimana ulama-ulama Mesir ingin mencari berkah dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Sekali pun tinggal di Makkah, tetapi namanya masyhur hingga ke Turki, Suriah, dan Hindustan, ulama-ulama Mesir dibuat penasaran dengan sosok Syeikh Nawawi, maka diundanglah Syeikh Nawawi untuk datang dan mengajar ulama-ulama Mesir (Amin, Karomah Para Kiai, 2008: 11).
Terakhir, jalinan keilmuan, hubungan guru-murid, hingga tali kekeluargaan antara ulama Nusantara dan Mesir terlihat dari profil Sunan Gunung Jati. Putri Sunda Rarasantang menikah dengan Raja Mesir, sehingga lahirnya Sunan Gunung Jati, yaitu salah satu Walisongo sekaligus raja Cirebon (Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon, 2006: 171).
Sejarah panjang ini membentuk satu dasar epistemologi Islam di Indonesia dan Mesir yang memiliki banyak keserupaan, yakni Manhaj Islam Wasathi; suatu cara beragama yang moderat, toleran, cinta kasih, damai, dan rahmatan lil alamin (Akmaluddin Ihsan, al-‘Alam al-Islami wa Tahaddiyat al-Qarn al-Jadid, 2013).
Soal & Kunci Jawaban Buku Latihan Matematika Kelas 5 SD Halaman 41 Kurikulum Merdeka : Latihan Bab 3
15 Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 4 SD BAB 4 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Meliuk dan Menerjang
Generasi-generasi penerus, termasuk kader-kader muda intelektual Indonesia jebolan Al-Azhar, Kairo, pun mengusung semangat Manhaj Wasathi ini, terlebih dalam pentas pendidikan Islam (International Institute of Islamic Thought, Abhats Muktamar al-Manahij at-Tarbawiyah wa at-Ta’limiyah fi Zhill al-Falsafah al-Islamiyah, 1994: 282).
Misalnya, berita terakhir melaporkan, Imam Besar Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb menyampaikan ucapan selamat Natal kepada Pemimpin Umat Katolik Paus Fransiskus dan kepada seluruh umat Kristiani dunia (Tempo, 25 Desember 2019). Contoh lain, Imam Besar Al-Azhar mendiskusikan upaya perdamaian dunia dan gerakan anti-terorisme dengan Guterres dari PBB (Egyptindependent, 2/4/2019), mengutuk serangan teroris di Nigeria (Egypttoday, 17/5/2019), dan mengutuk media-media Barat yang terpapar Islamophobia (Egypttoday, 2/6/2019).
Islam dengan Manhaj Wasathi ala Al-Azhar itu pun diterjemahkan dengan baik oleh Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi di Indonesia (Tribunnews, 4/8/2019), sehingga Al-Azhar bangga dengan TGB dan menganugerahinya penghargaan sebagai pejuang Islam moderat (Tribunnews, 19/10/2019). Semangat inilah yang penting terus dikembangkan di hari-hari mendatang.
Kita sebagai santri-santri Indonesia yang sempat mengaji di Al-Azhar, Mesir, tidak ingin menodai jejak-jejak luhur yang telah dicontohkan oleh generasi pendahulu. Itulah alasan adanya sedikit kekecewaan ketika, misalnya, Ustad Abdo Somad (UAS) sempat berfatwa adanya jin kafir pada patung Salib Yesus (Tagar, 18/8/2019), hukum kafir penggemar kesenian Korea (Tagar, 9/9/2019), atau mengucapkan Selamat Natal bertentangan dengan akidah Islam (Republika, 25/12/2018).
Jika UAS yakin bahwa mengucapkan selamat Natal memiliki tiga konsekuensi: Tuhan punya anak, Tuhan melahirkan, dan Isa mati di tiang Salib, maka kita tidak mungkin konsekuensi itu ada pada para Grand Syeikh Al-Azhar yang tiap tahun mengucapkan Selamat Natal pada umat Kristiani di seluruh dunia. Di samping tidak benar secara ilmiah, su’udzzon secara akhlak, berfatwa tanpa menggunakan Manhaj Islam Wasathi berbahaya pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dasar-dasar epistemologis Islam Wasathi ini dengan sangat mudah kita temukan dalam, misalnya, Mukadimah Qanun Asasi karangan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Penulis rasa, Qanun Asasi ini bukan saja pedoman gerakan ormas Nahdlatul Ulama (NU) saja, melainkan cocok untuk menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.