Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata upah buruh atau pekerja di Indonesia pada Agustus 2019 sebesar Rp 2,91 juta per bulan. Rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp 3,17 juta sedangkan perempuan sebesar Rp 2,45 juta per bulan.
Berdasarkan data Bank Dunia, sepanjang 2016-2018, sebanyak 46% pekerja menerima upah di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh masing-masing daerah.
Skema upah per jam ini akan menumbuhsuburkan sistem outsourching atau pekerja alih daya yang selama ini banyak merugikan pekerja. Pekerja asing untuk tenaga operator juga akan membanjiri Indonesia.
Hal ini pun diakui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, bila nanti RUU ini disahkan menjadi UU, maka tenaga kerja asing atau ekspatriat bisa masuk dan bekerja tanpa birokrasi yang berbelit-belit dan panjang.
Ini akan sangat ironis. Pasalnya, jumlah pencari kerja di Indonesia masih sangat tinggi.
Berdasarkan data BPS, total angkatan kerja di Indonesia mencapai 133,56 juta orang. Dari total angka tersebut, jumlah pekerja penuh waktu sebanyak 89,96 juta orang. Pekerja penuh waktu memiliki jam kerja minimal 35 jam per minggu.
Sedangkan jumlah pekerja paruh waktu mencapai 28,41 juta orang. Pekerja paruh waktu adalah penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu, tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain.
Sementara jumlah pekerja setengah pengangguran sebanyak 8,14 juta orang.
Pekerja setengah pengangguran adalah penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal, dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
Sementara jumlah yang bekerja 126,51 juta orang, maka jumlah pengangguran sebanyak 7,05 juta orang.
Sepintas, skema upah per jam ini di satu sisi terlihat seperti akan ada peningkatan produktivitas dalam hal menghasilkan out put, namun di sisi lain mungkin saja sebaliknya.
Skema upah per jam ini juga akan membuat kepastian hukum dalam rangka perlindungan kesejahteraan pekerja akan menjadi kurang terjamin. Hal ini dikarenakan hak istirahat mingguan, hak cuti, dan tidak masuk bekerja karena sakit akan menyebabkan hilangnya upah.
Hal ini tentu akan bertentangan dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum atau warga negaranya.
Antara madu dan racun, manakah yang akan dipilih pemerintah dan DPR RI? Di tangan eksekutif dan legislatif inilah nasib pekerja dipertaruhkan, karena merekalah yang akan menyusun UU, termasuk RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini.