Kedua, mencegah gejolak para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada awal Oktober 2019, publik digemparkan oleh berita bahwa Komnas HAM tiba-tiba berencana memanggil Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM untuk suatu kasus di masa lalu.
Sontak pemanggilan ini membuat internal GAM meradang dan bergejolak.
Semua kekuatan GAM langsung siap siaga, dan kalau hal ini tidak diredam sudah pasti menimbulkan gejolak sosial, politik dan keamanan di Aceh.
Saya segera memetakan masalah dan bersama tim bergerak cepat dalam dua kegiatan.
Pertama, melakukan kecaman keras terhadap Komnas HAM melalui media massa nasional karena apa yang dilakukan tersebut melanggar Kesepakatan Perdamaian Helsinki, 15 Agustus 2005, dan berpotensi mengacaukan suasana damai di Aceh.
Kedua, secara pribadi saya melakukan pendekatan kepada Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tengku Malik Mahmud Al-Haythar untuk meyakinkan bahwa apa yang dilakukan oleh Komnas HAM tersebut bukan mewakili kepentingan pemerintah pusat.
Syukur alhamdulillah, berkat hubungan dan kedekatan pribadi saya dengan Wali Nanggroe Aceh, semua masalah dapat teratasi.
Gejolak sosial politik dan keamanan di Aceh langsung mereda seketika, dan secara tidak sadar apa yang saya lakukan tersebut menghindarkan pertumpahan darah yang tidak perlu terjadi.
Ini adalah operasi intelijen senyap yang saya desain terselesaikan dengan cepat dan efektif tanpa gejolak.
Ketiga, merangkul separatis Papua.
Entah mengapa suatu saat di bulan November 2019 tiba-tiba saya dihubungi oleh beberapa orang di Papua.
Intinya ada seorang petingggi Organisasi Papua Merdeka (OPM) ingin bertemu saya.
Pada waktu yang ditentukan akhirnya petingggi OPM tersebut bertemu saya di suatu tempat dan ia menceritakan apa yang terjadi di Papua serta meminta saya terlibat aktif membantu menyelesaikan masalah Papua.
Setelah bertemu dengan petinggi OPM tersebut, setidaknya saya mempunyai perspektif baru tentang masalah Papua.