OLEH: Alex Palit
Entah ada apa dengan kita? Adakah yang salah dengan kita? Atau semua ini adalah buah yang kita petik dari apa yang kita tanam?
Di saat semua negara dan rakyatnya merapatkan barisan bersatu padu berperang melawan wabah virus corona, sementara kita masih ada saja yang belum move on.
Ironis, di tengah terjadi wabah virus corona yang seharusnya kita bersatu pada, masih saja ada terjadi perang antar kubu sisa-sisa laskar di Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 yang belum move on dan masih terperangkap dalam kungkungan kepentingan demi apa dan siapa.
Sekali lagi, adakah semua ini adalah buah yang kita petik dari apa yang kita tanam? Dan, benarkah lantaran itu pula kini kita kehilangan kemesraan sosial?
Di sini saya tidak ingin menyalahkan siapa, karena bukan tidak mungkin bahwa jangan-jangan semua ini kesalahan kita yang telah ikut andil didalamnya.
Dan kini adalah saatnya bagi kita saling merenungkan kembali yaitu ngaji roso – ngaji diri untuk menemukan kembali apa yang telah hilang.
Sebagai pengaji deling, di sini saya sengaja menuliskannya dalam perspektif bambu unik.
Di kalangan pengaji deling, selain memiliki nilai artistik sebagai karya seni alami, keberadaan bambu unik ini disebut sebagai kitab tanpo waton ora tinulis ning iso diwoco yaitu kitab yang tak tertulis tapi bisa dibaca, yang didalamnya ada banyak menyimpan simbolisasi nilai-nilai filosofi kehidupan.
Di balik keberadaan bambu unik yang juga disebut pusaka alam ini tersimpan ayat-ayat alam yang kemudian oleh nenek moyang kita, kitab tanpo waton ora tinulis ning iso diwoco dipakai sebagai pedoman ajaran budi pekerti atau moralitas.
Di tengah merebaknya bencana wabah virus corona, yang kita butuhkan hari ini bukan lagi bambu pethuk, dampit, atau bambu junjung derajat, bukan pula bambu pamengkang jagad. Yang kita butuhkan hari ini adalah tongkat bambu kurung sebagai penuntun.
Kenapa harus tongkat bambu kurung? Di kalangan pengaji deling Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), bambu kurung melingkar ke atas ini merepresentasikan simbolisasi “mikul duwur mendem jero”, mengingatkan kepada kita untuk senantiasa mengangkat hal yang baik atau kebaikan, mengurung atau mengubur hal yang buruk atau keburukan. Angkat yang baik, kubur dalam-dalam yang buruk.
Dari ayat-ayat alam pusaka alam ini tongkat bambu kurung ini mengajarkan dan mengingat kita – utamanya para elit politik atau peminmpin – untuk selalu mawas diri sendiri sebelum menjalankan, mengatakan atau memutuskan sesuatu, ojo dumeh, ojo adigang adigung adiguno, ojo rumongso iso, ning iso rumongso.
Dalam hidup ini kita sering lupa, termasuk lupa dalam melakukan instropeksi diri dengan begitu gampangnya saling mengorek-orek mencari kesalahan satu sama lain. Bahkan kalau perlu kita serang dan singkirkan orang-orang yang beda pendapat, beda pandangan, beda paham, beda keyakinan, demi dan dengan sebuah alasan pembenaran yang ditunggalkan dan diabsolutkan.