Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Hidup dikucilkan tetangga, mati pun susah mencari liang lahatnya.
Masyarakat sudah terjangkit gejala gangguan jiwa sehingga menolak mereka?
Bila tahu akan begini, mungkin dulu mereka tak akan kuliah mengambil jurusan kedokteran atau keperawatan.
Tak akan pula memilih profesi sebagai dokter atau perawat, kecuali mereka yang memang sudah benar-benar mewakafkan dirinya di jalan kemanusiaan.
Bila sudah mewakafkan diri pun, mereka pasti tak ada yang mau mati konyol di tengah ganasnya pandemi virus Corona di satu sisi, dan di sisi lain fasilitas dan alat kesehatan serba terbatas.
Tapi apa boleh buat bila pilihan profesi sudah menuntut demikian, dan nurani kemanusiaan mereka pun sudah memanggil-manggil sedemikian nyaringnya.
Sudah terlanjur berada di medan perang, kalah atau menang mereka tak akan mundur ke belakang. Segala risiko pun mereka hadang. Sekali layar terkembang, surut berpantang.
Semenjak wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 melanda Indonesia, hingga kini sedikitnya 25 orang dokter dan 10 orang perawat meninggal dunia.
Baca: BNPB Luncurkan Aplikasi Inarisk untuk Deteksi Penyebaran Corona
Mereka adalah tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam penanggulangan pandemi Corona.
Para dokter dan perawat yang menangani pasien Corona banyak yang ditolak warga masyarakat, terutama tetangganya ketika hendak pulang ke rumah.
Bila sudah terlanjur pulang, mereka pun dikucilkan.
Sebab itu, sejumlah pemerintah daerah, termasuk DKI Jakarta kemudian menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka.
Ketika para tenaga medis itu ada yang meninggal dunia, untuk mencari liang lahat atau sepetak tanah makam buat menguburkan jasadnya pun susah.