Ada sekelompok warga masyarakat yang menolak mereka.
Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, misalnya, seorang perawat di RSUP Dr Kariyadi, Nuria Kurniasih, yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus Corona ditolak masyarakat ketika hendak dimakamkan di samping pusara ayahnya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran, sehingga akhirnya dimakamkan di Bergota, pemakaman milik RSUP Dr Kariyadi.
Fenomena yang sama menimpa para pasien terinfeksi Corona. Ada warga masyarakat yang menolak keberadaan mereka tatkala masih hidup, dan pemakaman jenazah mereka ketika sudah meninggal.
Padahal, pemakaman tenaga medis dan pasien Corona itu sudah sesuai dengan protokol yang ditetapkan berdasarkan standar World Health Organization (WHO).
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan anjuran agar masyarakat tidak menolak pemakaman korban terinfeksi virus Corona, karena memakamkan jenazah itu hukumnya "fardhu kifayah".
Artinya, bila tak ada seorang pun warga masyarakat yang mau memakamkan jenazah, maka seluruh warga masyarakat di daerah itu menanggung dosa bersama secara berjemaah.
Mengapa ada warga masyarakat yang mengucilkan dan menolak pemakaman jenazah korban virus Corona? Apakah mereka telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya?
Mungkin saja. Tetapi yang jelas, mereka mengalami ketakutan, bahkan takut yang berlebihan, mendekati paranoid. Mereka takut terjangkit virus Corona. Mereka takut mati karenanya.
Karena ketakutan yang berlebihan itu, apakah mereka lantas diduga terjangkit gejala gangguan mental atau bahkan sakit jiwa?
Dikutip dari situs "Alodokter", ada beberapa contoh gejala gangguan mental, atau biasa disebut sakit jiwa, di antaranya perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus-menerus.
Dalam ilmu kesehatan jiwa dikenal Post-traumatic Stress Disorder (PTSD), yakni masalah kesehatan mental serius yang dialami oleh beberapa orang akibat peristiwa mengejutkan, menakutkan, atau berbahaya yang menyebabkan trauma.
Setelah mengalami trauma, sering terjadi perjuangan melawan rasa takut, kecemasan, dan kesedihan. Penderitanya akan merasakan sulit tidur dan selalu teringat kenangan buruk yang ada.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kenangan buruk dan rasa takut itu perlahan memudar pada kebanyakan orang. Hal inilah yang tidak terjadi pada penderita penyakit PTSD. Mereka akan terus mengalaminya dalam jangka waktu yang lama dan lama-lama kondisinya bertambah buruk.
Penyakit PTSD menyebabkan otak terjebak dalam kondisi selalu siaga terhadap bahaya. Setelah situasi berbahaya itu mereda, penderita pun masih tetap waspada karena tubuh terus mengirim sinyal yang mengarah ke gejala penyakit PTSD.