Gus Muwafiq, Dai Nyentrik dan Sejarawan Budaya Nusantara
Oleh: KH. Imam Jazuli Lc, MA.
TRIBUNNEWS.COM - Gus Ahmad Muwafiq atau lebih dikenal dengan Gus Muwafiq atau Cak Afiq, lahir di pedalaman daerah Lamongan, 02 Maret 1974. Ia adalah sosok kiai muda yang banyak dinanti ceramah agamanya oleh berbagai kalangan, terutama Nahdliyin, karena selalu menyelipkan kajian sejarah kebudayaan Nusantara dan dunia.
Selain itu, Gus Muwafiq juga sering mengisi seminar di berbagai acara, mulai dari lingkungan pesantren, akademisi, dan kenegaraan. Worksop pesantren seperti kurikulum pesantren hingga Sarasehan dan Pangkaderan berbagai tingkatan di organisasi NU pernah diisinya. Seminar di kampus keagamaan seperti STAIN, IAIN, hingga UIN. Bahkan juga pernah mengisi di Istana Negara, Gedung DPR dalam rangka maulid Nabi dan Peringatan Keagaaman lainnya.
Saat ini Gus Muwafiq menetap di Yogyakarta, dan mengasuh salah satu pondok pesantren di daerah Sleman, Yogyakarta, santrinyapun dari lintas usia dan profesi. Meskipun jadwal pengajian yang harus dihadiri sangat padat, namun Gus Muwafiq tetap berusaha mengasuh santri-santrinya dalam konteks kehidupan pesantren.
Pendidikan dasarnya dituntaskannya di kampungnya, daerah Lamongan. Tamat Madrasah kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di Pesantren Bungah Gersik, kemudian tingkat Aliyahnya di Bahrul Ulum Jombang, Semasa belajar di Jombang ini Gus Muwafiq sudah dikenal kritis dan pandai berorasi. Sehingga tidak mengherankan apabila saat ini Gus Muwafiq mahir dalam bidang ceramah agama.
Tidak hanya urusan ceramah, di bidang organisasi prestasinya cukup mengkilap. Pernah menjadi ketua kelas selama satu periode di Bahrul Ulum. Prestasi itu ditambah kedudukannya sebagai putra kiai-thariqoh di Pantura, tidak membuatnya angkuh, sombong dan dumeh, tetapi pembawaannya tetap kalem dan santun.
Usai menyelesaikan pendidikan di Bahrul Ulum 1992, Gus Muwafiq sempat melanjutkan ke Pesantren Tebuireng Jombang, lalu pindah ke Paiton Probolinggo, kemudian ke Pesantren Lirboyo Kediri. Pada tahun 1994, ia kemudian melanjutkan studinya di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, jurusan Dakwah Islamiyah. Di Kampus putih ini, ia menjadi aktivis, terutama di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Puncaknya, ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara.
Sambil menjadi aktivis kampus ini, Gus Muwafiq menjadi santri kelana, dengan sowan dari kiai ke kiai. Termasuk yang intens didalami Gus Muwafiq adalah ilmu kanuragan (beladiri) dan sejarah Kebudayaan Nusantara. Ia intens berguru dua ilmu itu kepada KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum dan pada KH. Hasyim Wahid (Gus Im), Jombang, Jawa Timur. Cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy'ari, kiai, budayawan yang banyak menulis puisi, salah-satunya Antologi Bunglon.
Mungkin karena kedekatannya dengan banyak kiai sepuh, saat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih sebagai Presiden RI, ia diangkat Gus Dur menjadi asisten pribadinya. Melalui Gus Dur inilah, ia mengaku banyak belajar baik agam, kebudayaan maupun teori sosial. Dan, konon, ketika Gus Dur akan dilengserkan pada Mei 2001, ia di depan pasukan berani mati, sendirian mengangkat mobil panser milik TNI dengan tangan kirinya. Peristiwa itu kemudian diabadikan oleh wartawan dan menjadi headline di Kompas.
Gus Muwafiq memiliki ciri khas bersuara lantang dan berambut gondrong. Soal rambutnya yang gondrong, dalam salah satu wawancara dengan media, ia menceritakan bahwa sudah sejak kecil membiarkan rambutnya gondrong. Dia bilang kalau rambutnya dipotong pendek sering meriang, alias jatuh sakit. Ciri lain, Gus Muwafiq adalah selalu mengenakan kaos oblong putih dengan bawahan sarung.
Dalam pengajiannya, Gus Muwafiq sering membahas isu-isu terbaru dan memberikan penjelasan secara rinci yang mudah diterima. Ia, juga dikenal sebagai kiai dengan pemahaman sejarah yang sangat mendalam, mulai sejarah peradaban manusia secara umum, sejarah Agama Islam pada masa kenabian, hingga sejarah Nusantara.
Begitu pun sejarah agama Islam di Indonesia, mulai awal perkembangan hingga saat ini. Ia dapat menjelaskan dengan jelas dan mudah difahami tentang setiap maksud dan makna filosofis dari setiap ajaran dan anjuran para wali/kyai tentang khas dakwah di Nusantara.
Menurutnya, peradaban Islam tidak hanya berlangsung di jazirah Arab, Persia, dan Turki, tapi Nusantara juga salah satu kawasan berkembangnya Islam di tengah kemajemukan tradisi dan budaya sehingga banyak mewujudkan peradaban, baik peradaban laku, pemikiran, ide, gagasan, dan bangunan-bangunan khas berupa artefak, kitab, manuskrip, dan benda-benda arkeologi.