Dalam perjalanannya, tak jarang terjadi sengketa kewenangan antara DPD dan DPR, bahkan sering terjadi perebutan kewenangan dalam menyusun undang-undang.
Pemilihan anggota DPR dan DPD ini diwarnai money politics (politik uang) sehingga memunculkan high cost politics (politik berbiaya tinggi).
Akibatnya, lebih dari 100 oknum anggota DPR RI dan lebih dari 3.700 anggota DPRD terlibat korupsi. Bahkan oknum pimpinan DPR dan DPD harus mendekam di penjara karena korupsi.
Di ranah eksekutif, terjadi perubahan sistem pemilihan dari semula pemilihan tak langsung menjadi pemilihan langsung.
Presiden/Wakil Presiden semula dipilih oleh MPR, sekarang dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Dari sisi demokrasi memang positif, tapi ada efek negatifnya, yakni maraknya konflik horisontal dan money politics.
Lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dikonotasikan sebagai lembaga stempel pemerintah serta tempat "pembuangan" pensiunan kemudian dibubarkan dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden yang dalam praktiknya ternyata tak jauh berbeda dengan DPA.
Gubernur, bupati dan walikota yang semula dipilih DPRD kini juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Akibatnya, tak sedikit kepala daerah yang tidak patuh dengan pemerintah pusat, karena mereka tak bisa dipecat oleh Presiden. Bahkan ada fenomena oknum-oknum kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerah.
Implikasinya, KKN pun marak di daerah, sehingga mengkhianati cita-cita Reformasi. Sejak pemilihan kepala daerah digelar secara langsung tahun 2004 hingga kini sekitar 400 kepala daerah terlibat korupsi.
Di ranah yudikatif, lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), di samping Mahkamah Agung (MA) yang sudah ada.
Pemilihan hakim agung MA, hakim konstitusi MK, dan komisioner KY melibatkan DPR melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).
Dalam perjalanannya, tak jarang terjadi sengketa kewenangan antara MA dan MK, dan antara MA dan KY terutama dalam rekrutmen hakim agung dan pengawasan hakim.
Ranah yudikatif juga tak lepas dari aroma korupsi, terbukti dengan adanya oknum Ketua MK dan hakim konstitusi MK, oknum hakim agung MA dan oknum komisioner KY yang terlibat korupsi.
Dalam pemberantasan korupsi, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di samping Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI yang sudah ada. KPK berdiri tahun 2003 dengan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang kini sudah direvisi dengan UU No 19 Tahun 2019.